Akhir

Win menatap Bright yang duduk di hadapannya, begitupun sebaliknya.

“Win,”

“Ya kak?”

“Mau dengerin gue cerita gak?” Win ngangguk, ia antusias.

Kapan lagi jadi pendengar yang baik buat crush.

“Mau, cerita aja kak.”

Bright berdehem sebentar,

“Tiga tahun lalu, gue ketemu seseorang yang bisa di bilang, merubah hidup gue.”

“Kejadiannya gak sengaja, waktu itu gue gantiin teman yang lagi sakit tipes buat jadi panitia penerimaan mahasiswa baru, dan teman gue ini jurusan psikologi.”

“Gak ada yang spesial hari itu, sampai tiba-tiba ada satu anak SMA yang datang sambil lari-lari karena hampir telat test.” Bright mengulum senyumnya, terlintas kejadian 3 tahun lalu di otaknya.

“Anak SMA itu hampir gagal masuk, terus dia mohon-mohon buat diijinin masuk dan akhirnya berhasil.”

Win mengerjap, seperti ingat sesuatu.

“Dari situ gue mikir, ternyata masih ada ya manusia lucu disini.” Bright menatap Win.

“Beruntungnya dia lolos, gue liat di papan pengumuman dan namanya ada disana, gue jadi ikut senang.”

“Beberapa hari setelahnya gue putus sama kakak sepupunya si kembar, lu pasti tau kan?”

Putus?

Win tau kalo Bright pacaran sama kakak sepupu AJ tapi baru ini dia tau kalo mereka berdua sudah putus bahkan dari lama.

“Beberapa waktu setelah putus gue balik ke rumah mantan, ngambil beberapa barang yang ketinggalan disana, dan disitu gue ketemu anak itu lagi.”

“Anak yang hampir gagal test?” Bright ngangguk.

“Iya, dia lagi main ke rumah si kembar. Dari situ gue tau dia temannya si kembar.”

Ada jeda setelahnya.

“Win?”

“Ya?”

“Masih mau dengerin lanjutan cerita gue?”

Win menatap Bright lalu mengangguk.

“Masih.”

“Sebulan setelahnya, gue gak sengaja ketemu AJ di perpustakaan pusat.” Bright mengetuk meja pelan.

“AJ bilang, salah satu temannya ada yang suka penampilan gue waktu penutupan ospek dan lucunya-,”

Win meraih gelasnya, ia tau arah pembicaraan ini.

“Lucunya orang yang dimaksud AJ itu sama kayak orang yang gue suka dari pertama ketemu waktu dia hampir telat test.”

Uhuk,

Win tersedak minumannya.

“Win? Are you okay?” Bright hampir berdiri dari kursinya,

“Gak papa kak, i am fine. Lanjutin aja ceritanya.”

Win melewatkan senyuman Bright.

“Setelah itu AJ janji mau bantu gue buat dekat sama temannya.”

“Berbagai cara kita lakukan, tapi sepertinya gak ada hasil. Dua tahun lebih gue berusaha dan nihil.” Win tidak berani mengangkat kepalanya.

“Gue sengaja sering makan di kantin psikologi, gue juga sengaja selalu pulang lewat depan gedung psikologi.” Bright melirik Win yang masih menunduk.

“Padahal kalo dipikir, ada jalan yang lebih cepat daripada lewat depan gedung psikologi.” Lanjutnya.

“Gue sengaja minta anak band latihan terbuka, jadi semua orang bisa nonton termasuk dia.”

“Dan semua yang terjadi di bazar minggu lalu juga sengaja.”

“Bazar?”

“Dompet ketinggalan di mobil, sun crush, ketemu di depan gudang hukum, powerbank AJ sampai hadiah makan malam dari undian stand gue.”

Win spechless, sangat.

“Win?”

Keduanya melempar pandang.

“Kak?”

“Hm.”

“Kok gue gak ngerasa asing ya sama cerita lu?”

“Jadi gue harus nunggu berapa lama lagi Win?” Tanya Bright balik.

Win boleh nangis aja gak sih?

“Kak?”

“Ya?”

“Mau jadi pacar gue gak?” Tepat setelahnya Bright tertawa.

Dan untuk pertama kalinya Win melihat Bright tersenyum sangat jelas.

Bahu pria di depannya masih bergetar, matanya menyipit.

“Harusnya gue yang nanya begitu.” Balas Bright, menyeka sudut matanya yang berair.

Sudah lama ia tidak tertawa.

Kondisi Win?

Wajahnya memerah sampai ke leher.

Bright meraih tangan Win,

“Win, kamu pacar aku mulai malam ini.”

Ambyar hati Win.