APO’s
Sudah semingguan Apo menemani ibunya di rumah terhitung dari hari dimana ibunya mengalami kecelakaan.
Sang ibu tentu sangat senang melihat eksistensi anak sulungnya di rumah, hanya saja dirinya khawatir melihat Apo terkadang telihat murung dan melamun seorang diri.
“Kakak,” Apo yang sedang memberi makan kucing liarpun menoleh,
“Kenapa bu? Perlu diambilin apa?” Dengan sigap ia segera berdiri, siap membantu ibunya.
Perempuan paruh baya itu menggeleng, dirinya ikut duduk di depan rumah.
“Kamu duduk dulu sini.” Ibunya menepuk kursi kayu di depannya yang langsung dituruti Apo.
“Ibu mau tanya, kamu itu cuti sampai kapan kak?” Apo reflek meremat kaosnya, ia sudah bisa menebak cepat atau lambat ibunya pasti akan bertanya. Apalagi Apo terlihat tidak menyentuh kerjaannya sama sekali selama di rumah.
Gelagat panik Apo pun tertangkap iris ibunya, perempuan paruh baya itupun segera mengelus sayang rambut Apo.
“Kakak, ibu gak suka loh ya kalau anak-anak ibu ada yang main rahasiaan di belakang ibu. Karena dari kecil, ibu sudah mengajarkan kakak dan adek untuk terbuka sama ibu. Jadi kak, kalau kamu lagi ada masalah, ibu sangat senang jika bisa diajak diskusi.” Akhirnya pecah juga tangis Apo, pria yang selalu terlihat kuat di depan ibu dan adeknya pun punya sisi lemah yang selalu berusaha ia tutupi.
Dengan cepat Apo menyembunyikan tangisnya di balik pelukan sang ibu.
“Kakak.” Perempun paruh baya itu tidak menyangka Apo akan langsung menangis, anak sulungnya itu banyak menanggung beban.
“Ma- maafin kakak ya bu,” elusannya kali ini bergerak ke punggung Apo.
“Harusnya ibu yang minta maaf kak, kakak hebat sudah jadi tulang punggung keluarga kita, maaf ya kak kalau selama ini kakak menanggung banyak beban, pasti capek ya kak?” Apo menggeleng, bekerja memang sangat melelahkan, namun ia senang bisa bekerja untuk keluarganya.
“Kakak itu hebat, sangat hebat, ibu dan adek sangat-sangat bangga sama kakak. Kakak merantau buat keluarga, kakak sudah melakukan banyak hal untuk kita, terima kasih ya kak.” Isak tangis Apo semakin terdengar,
ulu hatinya seperti ditekan kuat.
“Maafin kakak bu.”
“Kamu kenapa minta maaf terus kak? Kamu gak salah sayang,”
Apo mengangkat wajahnya yang sudah penuh air mata. Jemari ibunya mengusap air mata Apo yang masih terus menetes keluar.
Sebagai seorang ibu, hatinya merasa sakit melihat anaknya menangis seperti ini.
“Kakak minta maaf bu,” manik teduhnya menatap Apo yang terus meminta maaf.
“Kenapa minta maaf kak? Hm?” Tanyanya hangat sambil menyugar rambut Apo yang poninya sudah lumayan panjang.
“Kakak harus resign dari kantor yang sekarang, kakak gak becus ya bu?” Hatinya tercubit, si sulung terlihat rapuh sekali.
“Kata siapa kakak gak becus? Kan ibu sudah bilang, kakak itu hebat, sangat hebat, sangat membanggakan.” Kali ini ibunya mengelus wajah Apo lembut.
“Kakak dengarin ibu ya, namanya hidup memang selalu ada aja ujiannya, termasuk pekerjaan kakak ini juga ujian hidup. Gagal dalam ujian bukan berarti tidak becus kak, ada banyak faktor. Untuk masalah kakak, ibu lah faktor utamanya, ibu ikut andil dalam masalah kakak ini, maaf ya sayang.” Apo menggeleng, ia tidak ingin ibunya merasa bersalah.
“Sekarang semuanya tergantung kakak, kak Apo yang ganteng ini mau terus maju dan mencari jalan untuk menghadapi ujian atau lari dari ujian yang pasti akan selalu ada terus.”
“Yang jelas kak, ibu tidak masalah kalau kakak memang akhirnya mau disini aja, toh, ibu senang bisa lihat kakak setiap hari. Tapi, jika kakak akhirnya mendapat jawaban atas ujian kakak sekarang, ibu juga ikhlas kalau harus ditinggal lagi.”
“Tangan ibu bagaimana?” Ibunya tersenyum,
“Kak, ibu masih punya tangan kanan kan, lagian tangan kiri ini cuma retak, nanti kalau ada apa-apa ibu janji akan minta tolong tetangga atau nak Mario.”
“Janji ya bu.”
“Iyaaa kakak sayang.” Keduanya saling berpelukan, bebannya seperti terangkat.
Bagaimanapun juga tujuan hidup Apo memang untuk keluarganya. Apapun itu, tidak semestinya ia mudah menyerah.
©dearyoutoday