Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan pergi ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk keduanya.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win lalu terkekeh pelan.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Setelah itu tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.