Dunia Win
“Hai pak.” Sapa Win ke salah satu petugas keamanan kantornya.
“Selamat malam bos, tumben pulang telat.”
“Iya nih, saya lagi betah di kantor.”
“Asal jangan tidur di kantor lagi aja bos,” Win terkekeh, teringat dirinya yang dulu sering tidur di kantor.
“Ini kunci lantai tiga ya pak, udah saya kunci.”
“Siap bos.” Petugas itu menerima kunci dari Win.
“Pak Jainal mana?”
“Jainal nyusul bos, mau ngantar anaknya ke rumah sakit.”
“Sakit apa anaknya pak?”
“Belum tau bos, Jainalnya belum bilang ke saya.” Win ngangguk, dengan cepat menarik keluar dompetnya dari dalam tas kerjanya.
“Saya nitip buat anaknya pak Jainal ya pak,” Pria itu mengeluarkan beberapa lembar uang bewarna merah.
“Karena saya belum tau sakit apa, jadi saya cuma bisa kira-kira. Kalau misal kurang, bilang pak Jainal suruh minta ke saya ya pak.” Petugas itu menerima ratusan ribu dari tangan Win.
“Saya jadi takut pegang uang orang,” Win terkekeh.
“Oh, sama ini buat susu anak bapak,” lagi, Win mengeluarkan lembaran uang lainnya.
“Eh, saya gak perlu bos. Saya kan sudah terima gaji.” Win geleng,
“Gaji itu buat keluarga bapak, yang ini khusus buat anak bapak dari saya.” Ekspresi pria paruh baya itu berubah, terlihat terharu.
“Sama satu lagi pak, ini kartu nama dokter kenalan saya. Misal anaknya pak Jainal perlu bantuan dokter, langsung hubungi nomor ini ya pak. Bilang aja karyawannya Win, nanti biar dibantu buat cari dokter.”
“Dokter Dome?” Eja petugas itu.
“Iya, dokter Dome.” Win tersenyum.
“Terimakasih banyak bos, saya bingung mau bilang apa lagi.” Pria paruh baya itu meraih tangan Win, bersalaman.
“Sama-sama pak, disini semua keluarga. Bapak sama pak Jainal sama kayak karyawan lainnya, semua kelurga.” Petugas itu mengangguk, matanya berair.
“WIN!” Keduanya noleh terkejut.
“Kak Gun?” Gun melambai dari dalam mobil yang terparkir tepat di depan gerbang kantornya.
“Ayo pulang,” Win ngangguk.
“Pak saya pulang duluan ya, kalo ada apa-apa hubungi saya atau Tung ya pak.”
“Siap bos, hati-hati di jalan.” Win ngangguk lalu melempar senyum sebelum menjauh ke arah mobil Gun.
“Jadi bang Jum gak tau kalo kak Gun pergi?”
“Tau kok, tadi aku udah bilang kalo mau jemput kamu.”
“Tapi ini bukan arah ke apartemen kan?” Gun ngangguk.
“Mau ketemu sepupu-ku dulu.”
“Sepupu?”
“Sepupu agak jauh sih, tapi karena udah disini jadi sekalian aja.”
“Ohh oke.”
“Btw Win,”
“Ya?”
“Gak jadi deh.” Win noleh,
“Kok gak jadi? Dosa tau buat orang penasaran.” Gun terkekeh.
“Anggap aja aku tadi gak bilang apa-apa.”
“Terlanjur kak.”
“Sampai!”
“Studio foto?”
“Iyap, turun yuk.” Win mengikuti Gun.
“Kak Gun!” Keduanya dangak, ada sosok pria jakung yang melambai dari balkon lantai dua.
“Tunggu situ aja, gue turun.” Gun ngangguk.
“Siapa kak?”
“Kamu gak ingat?” Win menggeleng.
“Wajar sih, tapi kalian pernah ketemu kok sebelumnya.”
Kurang dari lima menit, sosok itu sudah berdiri di hadapan mereka.
“Lama banget woy kita gak ketemu.” Sosok itu meraih tubuh Gun, memeluknya erat.
hampir terlihat seperti ia meremas tubuh Gun, karena tubuh Gun yang lebih kecil.
“Win kenalin, adik sepupu aku, Gun.”
“Gun?” Win bingung.
“Hai, panggil gue Nagun aja kalo bingung.” Mereka bersalaman.
“Gue Win.” Nagun a.k.a Gunsmile itu mengangguk.
“Win lebih tua dari kamu ngomong-ngomong.” Ucap Gun.
“Oh? Sorry, gue kira seumuran.”
“Gak masalah, panggil Win aja juga gak papa.”
“Kita ke cafe itu aja ya, studio lagi gak bisa nerima tamu.”
“Kenapa gitu?” Tanya Win penasaran.
“Hawanya lagi gak enak,” balas Gunsmile lalu terkekeh.
“Ohh,” Win menatap lampu led yang berganti warna.
“I saw it before?”
“Nama studio kita,”
“Nagun ini yang fotoin pre-wed aku sama Papi.”
“Ahhh,” Win ngangguk.
“Loh? Dia kenal abang Jumpol?”
“Ini adeknya.”
“OHHH!” Pekikan pria itu sukses membuat Gun dan Win terkejut.
“Pantes aja gue kayak gak asing sama muka lu, kayaknya kita pernah ketemu di nikahan kak Gun.”
“Emang, kan aku bilang kalian pernah ketemu.”
“Ohh,” Win baru paham, hanya saja ia tidak begitu mengingat manusia di hadapannya itu.
“Bang Jumpol gak sekalian ikut?”
“Sibuk dia, yuk ah ke cafe, laper nih.”
Gun menarik tangan Win, dan pria yang lebih muda hanya bisa mengikuti langkah kaki kakak iparnya itu.