MIDNIGHT SUN
“The moon only glows when kissed by the sun” – R.Queen
“He was sunshine, I was midnight rain.” – Mile
“It’s time to go, Mile.” Mile tersadar dari lamunanya.
“Yeah, it’s time to go.” Mile menatap lamat cangkir kopi yang isinya sisa setengah sebelum akhirnya berdiri dan mengambil koper yang sejak awal ia biarkan di ujung sofa.
“The moon knows that they are in love”
“At least we’re under the same sky.”– Natta
Sosok pria di sudut kereta memperhatikan setiap pohon yang ia lewati silih berganti, irisnya terlihat kosong dan hampa. Ia menatap ke luar jendela tanpa berniat berganti posisi.
“Nat?” Tubuhnya tersentak kecil, seperti baru tersadar dari lamunan panjang.
“Oh sorry, udah mau sampai ya?” Tanya sosok bernama Natta itu.
“Hampir, gak mau tidur aja?” Natta menggeleng,
“Gak ngantuk, nanti aja tidurnya.”
“Okay,”
TIGA TAHUN YANG LALU
“Liat deh Mile, desain kafe buatanku kalau kita jadi buat kafe sendiri.” Mile mengalihkan fokusnya dari laptop ke layar tab milik Natta.
Ada gambaran kasar dari bangunan dua lantai dengan perpaduan warna oranye muda dan coklat gelap.
“Kok ini masih kosong?” Tunjuk Mile ke arah papan nama kosong di depan bangunan tersebut.
“Hm, belum tau mau namain kafe kita apaan, bagusnya apa ya Mile?” Tanya Natta balik lalu menyandarkan tubuhnya ke sisi kiri Mile.
“Hmmm, belum ada ide juga sih. Nanti kita pikirkan sambil jalan ya.” Apo mengangguk semangat, ia memandang tab-nya sambil tersenyum.
“Akhirnya sedikit lagi kafe impian kita terwujud.” Mile terkekeh, ia melepas kacamata yang sejak awal bertengger di hidung mancungnya.
“Padahal kamu bisa aja kalau mau bangun sendiri sejak tahun lalu Nat.” Narra menggeleng heboh,
“No... No... No, this is our dream since childhood gila, aku gak mau ngerusak impian kita dari dulu buat bangun kafe bareng.” Mile mengangguk, ia sangat paham dengan apa yang Natta pikirkan.
Kafe, satu kata penuh impian bagi mereka berdua terutama untuk Natta.
Milesky Alan dan Natta Afalla, keduanya telah mengenal satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Berawal dari teman masa kecil yang berbagi rumah pohon bersama sampai menjadi roommate untuk apartemen yang mereka sewa bersama sejak hampir lima tahun yang lalu, ketika mereka memulai masa perkuliahan.
Sejak kecil, mereka selalu memimpikan untuk memiliki kafe bersama, yang awalnya hanya bercanda karena mereka takjub dengan salah satu kafe yang pernah mereka lihat di salah satu film masa kecil mereka, siapa sangka sebentar lagi impian mereka akan terwujud.
“Semangat kerjanya Mile, aku dukung dan tunggu kamu terus pokoknya.” Ucap Natta lalu melirik Mile yang tersenyum.
Iya, Mile sedang berjuang untuk menyelesaikan project-nya sebelum memfokuskan ke bisnis yang akan mereka mulai tahun depan, sedangkan Natta bekerja di perusahaan keluarganya.
DUA TAHUN YANG LALU
“Menurut kamu mending kita jual makanan berat juga atau nggak?” Tanya Natta ketika keduanya tengah rebahan di ruang tengah setelah sibuk membersihkan apartemen sejak pagi.
“Kalau menurut aku gak perlu, kayaknya cukup makanan ringan aja Nat.” Balas Mile lalu meraih remote tv.
“Kalau ada yang lapar gimana deh Mile?” Kali ini fokus Natta beralih ke televisi yang menyala.
“They should go to restaurant instead of cafe, no?” Natta mengangguk, rambutnya bergesekan dengam rambut Mile.
“Our cafe harus punya menu otentik sih Mile.” Mile bangkit dari rebahannya lalu menunduk di depan wajah Natta.
Natta mengerjap bingung, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti, bahkan Natta bisa merasakan ujung rambut Mile menyentuh kulit wajahnya.
“Then, we need to try harder plus do more trial and error for that, Nat.” Ucap Mile tepat di depan wajah Natta lalu segera menjauhkan wajahnya.
Natta reflek ikut bangun dari rebahannya.
“Panas gak sih Mile? Aku mandi duluan ya.” Ujar Natta yang langsung berdiri dan menuju kamar mandi.
Sedangkan Mile hanya bisa mengulum senyum di tempatnya.
18 TAHUN LALU
“Allaaaaa cepat siniii.” Sosok anak kecil dengan rambut melewati telinga itu mendadak berhenti berlari.
“No Alla ih! Alla kayak nama anak cewek.” Anak kecil berusia tujuh tahun itu menghentak di tempat, kesal mendengar temannya memanggil dirinya dengan panggilan Alla bukan Natta.
Sosok yang lebih tinggi beberapa senti tertawa,
“Iya-iya, maaf ya Nattala, lupa terus sih.”
“Ih Mile! Bukan Nattala tapi Natta, Natta aja jangan pakai La di belakangnyaaaa.” Rengek bocah delapan tahun itu.
“Eh, iya Natta deh Natta, jangan nangis, kan udah gede.” Balas Mile jahil.
“Siapa juga yang nangis?” Dengan cepat Natta menghapus air mata yang sudah menetes di pipinya lalu segera menyusul Mile.
“Ada apa sih manggil-manggil?” Tanya Natta setelah berdiri di samping Mile.
“Sini, aku punya kejutan.” Mile meraih tangan Natta dan menggandengnya, ia membawa Natta menuju halaman samping rumahnya.
“Kejutaaaan!” Mile menunjuk ke arah atas pohon dan Natta mengikuti arah telunjuk Mile.
“Wahhhhhhhh, lumah pohon??????” Natta mengangguk semangat.
“Lumah pohon balu?” Tanya Natta lagi.
“Nggak baru sih, sebenarnya ini dibuat ayah dari tahun lalu Nat, ini tuh markas rahasia punya aku, gak ada yang pernah naik kesana selain aku sama ayah. Tapi mama bilang aku harus ngajak teman-teman yang lain main kesini juga. Cuma aku gak mau bawa teman yang lain.”
“Telus kenapa ngajak aku kesini Mile?” Mile menyadari nada Natta yang mengecil, sepertinya ia sedih mendengar kalimat terakhir dari Mile.
“Karena Natta Afalla kan teman aku.” Natta menoleh,
“Tapi katanya kamu gak mau bawa teman kesini, ini malkas lahasia kamu.”
“Iya, tapi sekarang jadi markas rahasia kita berdua.” Mile tersenyum, deretan giginya terlihat.
“Boleh?”
“Boleh, kan aku yang ngajak kamu kesini Natta, kamu teman aku, walaupun kita baru kenal hehehe.” Natta hampir mewek lagi, entah mengapa ia merasa ingin menangis.
“Mau naik?” Tawaran Mile membuatnya bersemangat.
“Mauuuu!” Mile mengangguk, lalu melepas gandengannya.
Anak laki-laki itu segera melepas tali yang terikat di pohon, dan setelahnya beberapa anak tangga terjulur kebawah.
“Ayo naik,” Natta menyusul Mile, berdiri di depan tangga menuju rumah pohon.
Ia terlihat ragu dan takut,
“Jangan takut jatuh, naik aja duluan, aku jagain dari bawah.” Ucapan Mile membuat Natta yakin lalu meraih tali tangga dan naik secara perlahan.
“Udahhh nihhh, ayo sekalang kamu naik juga, Mile.” Mile mengangguk, terkekeh mendengar Natta yang cadel.
Dirinya segera menyusul Natta naik ke atas rumah pohon dengan cekatan.
“Gimana? Bagus gak markas kita?” Mile duduk di samping Natta yang masih memandang takjub rumah pohonnya.
“Bagussssss, bagus banget Mile, ada banyak mainan juga hihi.” Natta menunjuk kotak berisi mainan milik Mile.
“Natta boleh main juga, karena sekarang ini markas kita jadi semuanya kita main bareng.” Senyum Natta semakin merekah, bahkan pipi tembamnya semakin terlihat memerah.
Mile bisa melihat mata Natta yang melengkung lucu bak bulan sabit.
“Nanti Natta bawain juga mainan dari lumah ya.”
“Boleh, bawa aja, kalau perlu bantuan bilang aku ya Nat.” Natta mengangguk lalu meraih satu mobil-mobilan warna merah.
“Loh, kalian udah pada naik?” Reflek keduanya mengintip ke bawah, ada Mama Mile dengan nampan berisi makanan ringan dan dua kotak susu.
“Tunggu Ma,” dengan sigap Mile meraih satu tali yang terikat di dahan pohon lalu mengulurnya kebawah, diikuti keranjang hitam yang ikut turun. Ayah Mile sengaja membuat itu, untuk memudahkan anaknya membawa mainan atau jajannya ke atas tanpa perlu naik turun.
“Jajannya bagi-bagi sama Natta ya, Mile.” Mile mengangguk lalu segera menarik tali setelah mamanya meletakkan kotak susu dan bungkus makanan ringan di keranjang.
“Telimakasih Tante.” Ucap Natta riang.
“Sama-sama sayang, dimakan ya, main yang senang disana sama Mile.” Balas Mama Mile lalu meninggalkan dua anak adam yang mulai menikmati jajannya.
TUJUH TAHUN LALU
“Nat, udah ma-“ Ucapan Mile terhenti setelah ia membuka pintu apartemen dan menemukan Natta dengan sosok perempuan berambut sebahu duduk di sampingnya.
“Eh Mile, aku pikir pulang sore?” Tanya Natta, sedikit terkejut dengan kedatangan roommate-nya itu.
“Dosennya sakit, kelas kosong.” Balas Mile lalu melanjutkan langkahnya.
“Kamu udah makan siang Nat?” Natta ngangguk,
“Udah tadi sama Adel, Mile kenalin, ini Adel.”
“Del kenalin, ini Mile,” Adel tersenyum manis ke arah Mile yang dibalas anggukan kecil dari pria itu.
“Lagi ada tugas kelompok apa gimana?” Natta berdiri,
“Del, sebentar ya.” Ucapnya lalu mendorong Mile ke arah kamarnya.
“Kenapa dorong-dorong? Kamarku di sebelah.”
“I know, cuma mau bilang, jangan ngomong aneh-aneh ke Adel.” Alis Mile mengernyit.
“Lagi PDKT.” Lanjut Natta lagi.
“Nat, you know that you’re sucks with girls, right?” Natta menghela nafas,
“I know but I need to try, mau sampai kapan jomblo?”
“Pokoknya doain aku aja, kali ini pasti berhasil.”
“Alright, good luck then.” Balas Mile lalu menepuk bahu Natta dan segera menuju kamarnya sendiri.
ENAM TAHUN LALU
“Aku gak bohong Nat, I really saw her with other man,”
Terlihat dua ekspresi berbeda dari dua orang di ruangan bercat abu itu.
“Can you just stop talking shit about Adel, Mile? I know kalau kamu gak suka dia dari pertama kali kita jadian and I’m trying to hold that. But now? Isn’t it too much? Aku bahkan antar dia ke rumahnya dan kamu bilang lihat dia di mall? Are you kidding me?”
“Know your boundaries Mile, don’t cross the line or I will hate you.” Ucap Natta lalu segera masuk ke kamarnya, meninggalkan Mile yang termenung sendirian.
“Am I cross the line?” Gumamnya sendu.
Semenjak pertengkaran mereka, baik Mile ataupun Natta tidak pernah bertegur sapa lagi. Mile memilih untuk tidak tinggal di apartemen sementara waktu. Dirinya hanya mengambil beberapa barang dan menumpang di kontrakan temannya. Sedangkan Natta bahkan tidak perlu repot-repot menegur Mile jika keduanya bertemu secara tidak sengaja di kampus.
Tentu saja situasi perang dingin mereka mengusik beberapa orang termasuk teman-teman dekat mereka.
“Lo lagi berantem sama Natta?” Tanya Johan tanpa basa-basi di hari ketiga Mile menginap di kontrakannya.
Mile menginap di kontrakannya bukan lah hal yang baru, tetapi pria itu tidak pernah menginap lebih dari dua hari, itu pun biasanya terpaksa semisal tugas mereka terlalu banyak. Mile biasanya lebih memilih pulang larut daripada menginap.
Sejujurnya Johan dan anak kontrakan yang lain tidak masalah jika Mile menginap lama, toh, mereka jadi punya teman untuk main PES, hanya saja situasi Mile sedang tidak baik. Ia terlihat murung dan lebih pendiam dari biasanya. Awalnya Johan mengira Mile terlalu lelah dengan banyaknya laporan praktikum namun setelah melihat Mile tidak menyapa Natta dan sebaliknya ketika di kampus, ia seolah menemukan jawabannya sendiri.
“Mile,” Johan menyikut temannya.
“Hah?”
“Berantem sama Natta?” Tanyanya lagi.
Mile mengedikkan bahu.
“Lah, maksudnya?”
“Gue juga gak tau ini tuh berantem atau apa, intinya Natta marah sama gue dan gue ngerasa gak nyaman aja kalo harus tinggal di apartemen selama Natta marah.”
Alis Johan terangkat satu,
“Marah? Emang lo abis ngelakuin apaan sampai Natta marah? Gue bahkan gak tau dia bisa marah.”
Pertanyaan Johan sukses mengusik Mile, setelahnya ia menceritakan penyebab perang dingin antara dirinya dan teman masa kecilnya itu.
“Setelah gue tau akar masalahnya, pertanyaan gue cuma satu sih Mile,”
“Apa?”
“Mile, lo suka sama Natta?”
Natta menatap ponselnya gelisah, sudah lebih dari seminggu perang dinginnya dengan Mile, tepatnya hampir sembilan hari.
“Should I?” Natta meraih ponselnya, ibu jarinya bergerak ragu-ragu diatas layar ponsel.
Nyaris saya ia menekan angka satu di ponselnya, sampai ia mendengar suara dari pin pintu apartemen yang diakses.
Kedua iris mereka bertemu, baik Mile dan Natta terdiam beberapa sekon sebelum Mile memutus tatapannya dan menutup pintu. Ia bersikap seolah tidak ada siapapun disana, dan melewati Natta yang duduk di sofa begitu saja.
Belum sempat tangannya meraih knop pintu kamar, Mile merasakan sebuah tarikan di ujung kemejanya yang tentu saja Natta lah pelakunya.
Ia melirik Natta yang menatap dirinya sendu,
“We need to talk, Mile,” ucap Natta dengan suara kecil.
Mile terlihat enggan merespon.
“Pleaseee?” Binar mata itu, binar yang selalu berhasil membuat Mile mengalah, sama seperti saat ini, lagi-lagi ia mengalah. Pria itu menghela nafas pelan lalu mengangguk, segera mengubah langkah menuju sofa yang Natta duduki.
“Mau ngomong apa?” Mile bertanya dengan datar namun sejujurnya perasaan Mile campur aduk saat ini. Maniknya bisa melihat tangan Natta yang saling meremas satu sama lain.
“Aku minta maaf Mile.” Akhirnya kalimat itu keluar juga dari belah bibir Natta.
Mile menoleh,
“Kenapa minta maaf? Disini aku yang salah. You’re right, I crossed the line dan terlalu ikut campur urusan kamu.” Natta menggeleng cepat, remasan pada tangannya semakin kuat.
“Aku juga salah, and no, you’re not cross the line. Aku tau maksud kamu baik, aku minta maaf.”
“Aku cuma takut kehilangan Adel, as you know, kalau aku sucks with girls, jadi aku ngerasa I need to protect her no matter what setelah jadian. But now I realize kalau aku lebih takut kehilangan kamu Mile.”
“Kita gak pernah diam-diaman gini selama hampir tiga minggu, biasanya paling lama tiga hari, dan aku mulai panik waktu kamu jarang pulang kesini.”
“It’s so childish of me, I pushed you before, aku takut kamu gak balik lagi.” Jelas Natta panjang lebar dengan nada bergetar.
Tangan kiri Mile terulur, menggenggam kedua tangan Natta yang bergerak gelisah.
“I’m still here Nat, don’t worry. Maaf bikin kamu takut kayak gini karena aku pikir we need space for each other.”
Mile menunduk tepat di depan wajah Natta.
“Sekalang maafin Mile ya Alla? Hm?” Ucap Mile dengan nada Natta kecil sambil menatap mata Natta yang mulai basah.
“Stop it.” Natta memukul pelan bahu Mile lalu menjatuhkan tubuhnya di pelukan Mile.
Mereka melepas rasa marah dan sedih yang ditahan hampir tiga minggu lamanya di dalam pelukan erat. Natta lega, Mile tidak akan meninggalkan dirinya begitu pula Mile yang akhirnya berbaikan dengan teman masa kecilnya.
Mile meletakkan air mineral dan semangkok keripik kentang di atas meja, lalu menyusul Natta yang telah duduk di sofa memangku ice cream.
“Jangan dihabisin Nat, nanti batuk-batuk lagi.” Natta tidak membalas, hanya menatap kosong layar televisi. Hari ini bukanlah jadwal menoton mereka namun sudah empat hari ini Mile rutin menemani Natta menonton apapun yang pria itu mau.
Natta menoleh di pertengahan film setelah mendengar suara isakan kecil di samping kanannya. Ia menghela nafas setelah melihat wajah Natta yang basah karena air mata, ia lalu meraih sendok dan ice cream dari tangan Natta, setelahnya menarik dua lembar tisu untuk menyeka air mata temannya itu.
“Perasaan ini bukan film sedih tapi kamu nangis terus.” Ucap Mile lalu menatap wajah Natta dengan hidung memerah.
“You need to stop crying Nat, air mata kamu bisa kering karena nangis empat harian ini.” Mile berdiri untuk mengambil dua buah sendok yang sudah ia dinginkan di dalam freezer.
“Kompres dulu matanya, terlalu bengkak.” Natta menerima dua buah sendok dingin dari tangan Mile dan langsung menempelkan ke kedua matanya.
“Jadi mau sampai kapan nangisin Adel?” Tanya Mile lalu menekan tombol pause di remote televisi.
“I’m not crying over her, Mile. It’s not worth it nangisin cheater. Awal-awal iya, aku nangisin dia, tapi sekarang udah nggak.”
“Okay, terus nangis kenapa?”
“Aku selalu sedih kalau ingat marah-marah ke kamu karena lebih memilih untuk belain Adel dan ternyata kamu benar, kalau dia cheater. Kayak nyesel aja, kita hampir gak berteman lagi.” Balas Natta dengan suara pelan.
Mile menatap Natta yang masih mengompres matanya.
“Nat..”
“Hm?”
“Dengarkan aku dulu,” Mile menurunkan tangan Natta dari matanya.
“I’ve told you before kalau masalah kita udah clear, case closed. Apa yang kamu lakukan saat itu sangat amat wajar sebagai bentuk defend buat pasangan kamu, okay? Karena aku bakal melakukan hal yang sama kalau ada yang jelek-jelekin kamu.”
“Beda Mile, aku sama Adel pacaran waktu itu, sedangkan kita teman.”
Mile mengerjap,
“Poinnya adalah sangat wajar belain orang-orang yang menurut kamu penting, termasuk Adel saat itu walaupun akhirnya dia ternyata tukang selingkuh.”
“Jadi udahan nangisnya ya Natta Afalla, gak perlu merasa sedih buat masalah kita karena aku masih disini, gak kemana-kemana.” Keduanya saling bertatapan satu sama lain,
Natta akhirnya mengangguk, asalkan ada Mile, ia tidak peduli yang lain.
Mile merentangkan tangannya yang langsung disambut Natta.
“Terimakasih Mile, I don’t know what I’ll do if I lose you.” Bisik Natta pelan.
SATU TAHUN YANG LALU
“Mile, kalau nama kafenya For You, disingkat FrY, dan dibacanya ef-ar-yu gimana?”
“Tiga kata doang?” Natta mengangguk semangat.
“Bagus sih cuma pasti banyak yang bakal baca itu as ef-er-ye daripada ef-ar-yu.” Mile tergelak membayangkannya.
“Ah kamu bikin gak estetik aja.” Natta mencebik kesal.
“Gak semua orang punya lidah inggris kayak kamu, Alla sayang.” Ucap Mile lalu menoel dagu Natta sebelum meninggalkan pria itu karena pesanan makanan mereka hampir sampai.
“IHHH COLEK COLEK!” Natta bisa melihat bahu Mile yang bergerak pertanda pria itu tertawa.
LIMA BULAN LALU
“Emang kurang jelas apa sih perlakuan aku ke kamu Nat? Jadi kamu pikir selama ini yang aku lakuin semua atas dasar pertemanan? How about our kiss? Teman mana yang ciuman?” Natta terkejut dengan ucapan Mile.
“Kita sepakat untuk nggak bahas masalah ciuman itu Mile, saat itu kita dibawah pengaruh alkohol.”
“Alkohol? I kissed you with your consent, I know your alcohol limit and that time you were not even tipsy alias kamu itu totally sober Nat. Dan sekarang kamu bilang dibawah pengaruh alkohol? For real?”
“Mile! Stop talking nonsense!” Suara Natta meninggi,
“You’re the one who need to stop denial Natta Affala and yes, I like you, I like you so damn much sampai dadaku sesak tiap lihat kamu selalu usaha cari pacar tanpa ngelirik aku sedikit pun. It’s been years and it’s getting too tired for me.”
“I can’t handle my feeling anymore, udah cukup buat aku pura-pura bertahan selama ini, perasaanku perlu istirahat.”
Mile menarik nafasnya,
“Maaf kalau selama ini kamu menganggap semua yang aku lakukan atas dasar pertemanan, that’s true but not all of it. Maaf kalau aku gagal menjadi teman yang baik, karena aku diam-diam selalu berharap kamu bisa lihat aku bukan cuma sebaga Mile si teman kecil. Maaf juga karena aku udah cium kamu waktu itu, it was my fault.”
Natta mencoba mencerna seluruh kalimat yang keluar dari belah bibir Mile, tiba-tiba saja bibirnya kelu. Seluruh amarah yang ia punya lenyap seketika, tergantikan dengan rasa nyeri di dadanya.
Mile membuang mukanya, berusaha mengatur tempo nafas dan emosinya yang meledak-ledak. Pria itu bahkan hampir menangis. Tidak pernah sedikitpun terbersit di benaknya ia akan mengutarakan perasaannya dalam situasi seperti ini.
Natta masih terdiam, menatap kosong lantai.
“Let’s take a break, Nat.” Natta reflek mendongak, sebuah kalimat yang sangat ia benci.
“I don’t think we can use that words, we’re not even dating but we need a break, a space between us.” Lanjut Mile lalu menghela nafas.
“Aku, kamu, kita, butuh waktu untuk saling memahami satu sama lain lebih baik.”
Natta mengerjap, matanya mulai basah.
“Dan untuk kafe yang lagi proses pembangunan,”
Oh tidak, Natta tidak siap untuk ini.
“Aku serahkan semuanya ke kamu, it’s yours now. Aku gak akan menarik modal dan yang lainnya, karena dari awal itu atas nama kamu, let’s say, I just help you a little bit to make your dream cafe.” Mile bisa melihat air mata di yang nyaris turun dari mata Natta.
“Maaf aku sempat bentak – bentak kamu tadi, and don’t worry buat pembangunan aku tetap bakal urus, it’s my duty after all.”
“Aku bakal keluar dari apartemen ini, sisanya aku urus nanti.” Mile menghela nafas sekali lagi sebelum membawa tubuhnya ke arah Natta dan memeluk teman kecilnya itu.
Runtuh sudah pertahanan Natta, air mata itu luruh juga. Ia tidak pernah menyangka akan menghadapi hal seperti ini.
Ia tidak bermaksud untuk membentak Mile, ia hanya marah seperti biasa, tapi kenapa berakhir seperti ini?
Sampai detik ini pun Natta tidak bisa membalas ucapan Mile, terlalu banyak hal yang harus ia cerna.
Natta tidak bisa menahan Mile, bahkan tangannya terlalu berat untuk sekedar menahan kemeja Mile. Maniknya menatap nanar tubuh pria yang perlahan menjauh dari pandangnya, pria itu menghilang di balik pintu apartemen tanpa menoleh kembali.
Natta menunduk, terisak lebih keras. Tubuhnya bergetar hebat diikuti air mata yang membasahi kedua pipinya. Ia kalah, perasaannya kalah, egonya kalah.
Mile sadar, sampai kapanpun dirinya tidak akan pernah memenangkan hati Natta dan begitu pula Natta yang sadar jika dirinya dan Mile tidak akan pernah menjadi lebih dari teman.
TIGA BULAN LALU
“It’s time to go, Mile.” Mile tersadar dari lamunanya.
“Yeah, it’s time to go.” Mile menatap lamat cangkir kopi yang isinya sisa setengah sebelum akhirnya berdiri dan mengambil koper yang sejak awal ia biarkan di ujung sofa.
“Lo yakin gak mau bilang ke Natta dulu Mile?” Tanya Johan memastikan untuk yang terakhir kalinya.
Mile menggeleng,
“He’ll be fine,” Johan mengangguk paham.
Ia mengecek jam tangannya,
“Lo masuk sekarang aja.”
“Okay, thanks Jo, udah ngantar gue kesini.”
“Kayak sama siapa aja lo.” Keduanya bertukar pelukan singkat.
“Hati-hati lo disana, kabarin gue kalau udah landing.” Mile ngangguk,
“Tolong pantau pembangunan kafenya Natta ya Jo, harusnya dua bulan lagi selesai.”
“Iyeee aman, lo tenang aja, fokus aja disana.”
“Oke, bye Jo, salam buat orang rumah.” Johan mengacungkan ibu jarinya lalu melambai ke arah Mile yang perlahan menjauh menuju pintu keberangkatan internasional.
Sosok pria di sudut kereta memperhatikan setiap pohon yang ia lewati silih berganti, irisnya terlihat kosong dan hampa. Ia menatap ke luar jendela tanpa berniat berganti posisi.
“Nat?” Tubuhnya tersentak kecil, seperti baru tersadar dari lamunan panjang.
“Oh sorry, udah mau sampai ya?” Tanya sosok bernama Natta itu.
“Hampir, gak mau tidur aja?” Natta menggeleng,
“Gak ngantuk, nanti aja tidurnya.”
“Okay,”
Setelah menempuh perjalanan dengan kereta selama beberapa jam, akhirnya Natta dan Bumi sampai di kota yang menjadi saksi awal mula pertemanan antara Natta dan Mile.
Keduanya bertemu Pak Amir, supir yang ditugaskan menjemput mereka.
Natta kembali memilih diam selama perjalanan yang memakan waktu sekitar dua puluh menit dari stasiun.
“Terimakasih ya Pak Amir,” ucap Natta setelah sampai di tempat tujuan.
“Sama-sama den, saya senang rasanya ketemu den Natta lagi disini.” Natta tersenyum, sebuah kalimat yang membuatnya senang hari ini.
“Natta???” Natta dan Bumi reflek menoleh setelah mendengar suara wanita memanggil Natta.
“Mama?”
“Ya ampun, apa kabar sayang, udah lama kamu gak kesini.” Sosok yang dipanggil Mama itu menyambut Natta dengan pelukan hangat.
“Maaf ya Ma, setahun belakangan Natta sibuk ngurus pembangunan kafe, Mama apa kabar?” Natta membalas pelukan hangat itu.
“Mama baik sayang, kok gak dibalas pertanyaan Mama, kamu gimana sayang? Baik?”
Wanita yang sudah berusia setengah abad itu bisa melihat wajah sendu dan lelah Natta, tanpa menunggu jawaban dari Natta ia segera menarik tangan sosok yang ia anggap anak keduanya.
“Masuk aja yuk, pasti capek kan perjalanan kesini, ayo nak...?”
“Bumi Tan,”
“Halo nak Bumi, ayo masuk-masuk.” Wanita bernama Alesha itu membawa kedua tamunya ke dalam rumah.
“Gimana perjalanannya tadi? Lancar aja kan?” Tanya Alesha lalu meletakkan satu gelas teh hangat dan teh madu hangat untuk Natta.
“Lancar Tan, cuma tadi Natta gak tidur sepanjang perjalanan.” Lapor Bumi yang langsung dilirik temannya itu.
“Kenapa gak tidur sayang? Nanti tidur ya di kamar Mile, sudah mama rapikan kok.” Ekspresi Natta berubah setelah mendengar nama dari sosok yang tidak pernah ia temui lagi hampir lima bulan lamanya.
Kedua orang di samping Natta menangkap ekspresi sendu itu.
“Nak Bumi mau istirahat duluan? Kamar Mile di lantai dua pintu kedua di kanan, Mbak Efa ini tolong diantar nak Bumi ke atas.” Bumi mengangguk,
“Boleh Tan, kalau gitu Bumi naik dulu.” Balas Bumi lalu mengikuti Mbak Efa untuk naik ke lantai dua meninggalkan kedua sosok yang sepertinya akan berbagi cerita.
“Natta mau ke halaman samping sama Mama?”
Natta mendongak ke arah rumah pohon yang masih terbangun kuat disana.
“Sini Nat,” Alesha menepuk kursi di sampingnya, keduanya duduk menghadap kolam ikan koi.
“Waktu Natta menelfon Mama dan bilang mau kesini, Mama senang bukan main, akhirnya Mama ketemu Natta lagi karena terakhir ketemu tahun lalu kan ya?” Natta mengangguk, irisnya memperhatikan ikan-ikan koi yang berenang tenang.
“Natta tau kan kalau gak ada Mbak Efa disini, Mama cuma sama Papa dan kalau Papa kerja, Mama kesepian. Apalagi setelah keluarga kalian pindah lima tahun lalu, Mama semakin kesepian karena teman menggosip Mama udah gak ada.” Keduanya terkekeh, Natta tau yang Mamanya maksud adalah Bundanya.
“Bunda kamu itu ya, selalu aja punya bahan buat cerita, Mama jadi merasa senang setelah kalian pindah kesini. Karena Mama kan pendiam, gak punya banyak teman tapi tiba-tiba Mama dipertemukan sosok yang ramai sekali seperti Bundamu.” Natta jadi teringat sosok Bundanya.
“Mile itu wajahnya aja yang ngikut Papanya, tapi sifat dia ngikut Mama, sampai ke sifat pendiam dan gak punya banyak teman persis kayak Mama. Padahal Mama berkali-kali bilang ke Mile buat ngajak teman-temannya main kesini tapi selalu nolak, makanya waktu Mile bawa kamu, Mama kaget sekali Nat.” Natta mendengarkan dengan serius.
“Seperti yang kamu tau, rumah pohon itu dibangun Papanya biar Mile jadi lebih punya banyak teman, ternyata dia malah jadi asik main sendiri, untungnya setahun kemudian keluarga kamu pindah kesini.”
“Setelah kamu disini, Mile jadi lebih aktif, Mama bisa bilang kepribadiannya berubah perlahan, Mama sangat bersyukur akhirnya Mile mau membuka diri.”
“Jadi Nat, Mama sangat-sangat berterimakasih dengan keluarga kamu terutama kamu, sayang.” Natta menggeleng pelan,
“Tapi Mile yang banyak nemenin Natta, Ma, apalagi dulu Natta anak cengeng.” Alesha terkekeh, teringat banyak kejadian di masa lalu.
“Kalian itu kayak ditakdirkan bersama, bahkan Mama sering ngobrol sama Bunda kamu, dan dia setuju.” Natta menoleh, ada ekspresi terkejut di wajahnya.
“Kenapa? Natta baru sadar?” Alesha tersenyum.
“Mile juga baru sadar kok sayang, Mama bilang hal yang sama lima bulan lalu, waktu Mile pulang.”
“Mile pulang?” Alesha mengangguk.
“Mama kaget banget karena tiba-tiba dia udah berdiri di depan pagar, anak itu bahkan gak kasih kabar dulu.”
“Waktu itu Mama bertanya-tanya, tapi Mama tahan semua pertanyaan Mama setelah melihat wajah Mile, anak itu kayak apa ya bahasanya, zombie?” Alesha nampak mengingat-ingat.
Natta tau, saat itu lah keduanya bertengkar hebat untuk pertama kalinya dan ternyata Mile memilih pulang ke rumahnya saat itu juga.
“Mile ada ngomong sesuatu, Ma?” Alesha menoleh, iris-nya menangkap tangan Natta yang saling meremas.
Tangannya terulur untuk menggenggam tangan Natta.
“Sayang, lihat Mama dulu.” Natta mengangkat wajahnya, Alesha bisa melihat sosok yang telah ia anggap anak sedang menahan tangisnya.
“Kamu boleh banget nangis di depan Mama ya sayang, no need to hold it, Mama paham.” Detik itu juga tangis Natta pecah, pria itu telah menahan segalanya selama beberapa bulan belakangan dan berakhir disini, di rumah Mile, di depan Mamanya.
Alesha memeluk Natta, mengelus pelan punggung anak itu. Hal yang sama yang ia lakukan untuk Mile, ketika anaknya menangis lima bulan yang lalu.
“Nat salah Ma, Natta yang salah, maaf Ma, maafin Natta.” Ucap Natta terisak, ia bingung harus mengatakan apalagi selain salah dan maaf.
“Sayang, gak ada yang salah disini, perasaan kalian valid, gak ada yang salah ya sayang.” Isak tangis Natta semakin kencang.
“Wajar kalau kalian sekarang begini, tandanya semesta mau kalian istirahat dulu, istirahat dari segala perasaan yang sudah dipendam sekian lama, istirahat dari hubungan yang mungkin jika dilanjutkan hanya akan saling menyakitkan, istirahat dari masalah-masalah yang menguji kalian.” Alesha masih mengelus punggung Natta.
“Jadi sayang, biarin Mile dulu ya, biarin anak mama itu untuk memperbaiki dirinya, biarin Mile menyembuhkan sakitnya, karena Mama yakin, Mile juga berharap yang sama buat kamu sayang.”
“Ma- maafin Nat, Ma.” Alesha menggeleng,
“Gak ada yang perlu minta maaf ya sayang, ini waktu yang baik juga buat Natta untuk menyembuhkan luka Natta sendiri, tanpa Mile. Mama percaya, kalau semesta masih ingin kalian bersama, pasti ada jalannya, tapi mungkin bukan sekarang waktunya, sayang.”
“Tapi Nat gak bisa kehilangan Mile, Ma. Natta takut.”
“Mama sama Bunda kamu percaya kalian itu seperti takdir, jadi pelan-pelan ya sayang, everything will be alright.”
Alesha memeluk Natta semakin erat, sekali lagi hatinya terluka, sekali lagi ia harus melihat anaknya menangis, tapi dirinya percaya akan jalan semesta untuk kedua anaknya.
Natta memperhatikan setiap coretan dan ukiran yang ia dan Mile torehkan disana, di markas rahasia mereka, di rumah kayu yang masih berdiri kokoh.
Sesekali sudut bibirnya terangkat ketika melihat hal yang lucu, dirinya seperti menarik kembali semua momentum dari masa kecilnya. Telunjuknya bergerak perlahan di setiap coretan dan ukiran acak yang mereka buat, dan terhenti di sebuah kalimat yang baru Natta sadari.
Mile sayang banget sama Alla, semoga Alla terus jadi teman Mile selamanya.
Ia terenyuh, entah kapan Mile menuliskan kalimat itu dengan spidol merah, mungkin ketika mereka masih anak-anak. Telunjuknya kembali bergerak dan berhenti, kali ini di kalimat yang ia tulis ketika mereka duduk di bangku SMA,
Bilang aja kalau kamu emang suka sama Rachel dari kelas sebelah ya kan?!!!
Ia terkekeh, lalu telunjuknya bergerak turun ke arah tulisan Mile yang membalas coretannya,
Kenapa? Cemburu? Bilang aja kamu cemburu karena gak bisa deketin Rachel :p
Rachel? Entah apa kabarnya perempuan yang pernah menjadi bahan ribut mereka berdua,
NGAPAIN CEMBURUUU HUEK!! BANYAK CEWEK LAIN KALI!!
Sekarang dirinya sadar, entah benar saat itu dirinya cemburu karena Rachel dekat dengan Mile atau sebaliknya.
Ia menghela nafas, memperhatikan sekitar rumah pohon, terlalu banyak kenangan bahkan mereka masih sering mencoret-coret sampai saat ini.
Natta menumpukan kedua tangannya kebelakang, namun gerakan tangannya terhenti setelah secara tidak sengaja ia menyenggol kotak mainan. Ia menoleh, banyak sekali mainan yang masih dalam kondisi bagus hingga saat ini. Pria itu memundurkan tubuhnya, bersandar pada dinding rumah pohon lalu mengangkat kotak mainan, berniat mengenang kembali masa kecil mereka sampai maniknya menemukan hal lain di bawah kotak mainan.
Reflek ia mencondongkan tubuhnya, sebuah tulisan yang Natta tidak pernah lihat sebelumnya, warna masih jelas, tidak pudar seperti yang lain, ditulis dengan spidol biru. Ia membawa tubuhnya semakin dekat dan selanjutnya ia bisa merasakan matanya memanas.
Itu Mile, pria itu meninggalkan pesan untuknya tiga bulan yang lalu,
Good luck for your cafe Natta Afalla, I know you can do it. I’ll always support you from here :) Jaga kesehatan, kurangi minum kopi tengah malam, ok?
Natta mendongak, berusaha menahan air matanya.
Ia menghela nafas,
“Good luck for you too stupid, I’ll waiting for you always.” Ucap Natta lalu meletakkan kembali kotak mainan disana.
Setelah obrolan panjang dengan Mama Alesha, Natta jadi tau jika Mile dipindah tugaskan ke Inggris tiga bulan lalu, dan Mile pulang lagi untuk pamit dengan keluarganya sebelum pergi ke Inggris.
Natta benar-benar tidak tau hal ini, bahkan semua teman Mile tidak memberitahunya.
Saat itu itu Natta merasa seperti pathetic loser, akan tetapi semuanya lebih jelas sekarang, dan ia mengerti.
Mungkin Mama Alesha benar, untuk saat ini biarkan mereka menyembuhkan luka masing-masing.
Jika takdir berkata iya, siapa yang bisa menolaknya?
END
©dearyoutoday