RUMAH KASIH
Setelah menempuh tiga jam perjalanan, mobil Lexus hitam itu terlihat memasuki pekarangan dari bangunan tiga lantai bercat oranye.
Julian memarkirkan mobilnya tepat di bawah pohon kersen, sedangkan Jemiah hanya memperhatikan sekitar sejak mereka memasuki area pekarangan.
“Nanti gue yang bawa paper bag-nya, lo masuk duluan aja.” Jemiah menggeleng,
“Barengan aja, gue agak gugup. Udah lama gak kesini.” Julian mengangguk paham lalu membuka akses pintu mobil dari central lock. Keduanya melepas sabuk pengaman lalu turun secara bersamaan.
Jemiah membantu Julian mengeluarkan paper bag yang sudah Jemiah persiapkan dari jauh-jauh hari, sengaja ia titipkan lewat alamat agensinya.
Sedangkan keikutsertaan Julian yang cukup mendadak tidak membuatnya datang dengan tangan kosong, pria itu sempat singgah untuk membeli beberapa kotak pizza dan juga pasta.
“Ayo,” ajak Jemiah yang mulai memasuki area bangunan bercat oranye dengan plang “Rumah Kasih”
“KAK JEJEEEEEEEEE!” Pekik sosok anak perempuan berkuncir dua.
Pekikan tersebut sukses membuat seluruh atensi anak-anak disana teralihkan ke arah Jemiah, sontak mereka ikut menjerit senang.
“ADA KAK JUJU JUGAAAAA.” Sosok bocah laki-laki menangkap presensi Julian yang berdiri tidak jauh dari Jemiah.
Anak-anak tersebut mulai berhamburan ke arah Julian dan Jemiah, bersemangat menyambut kedua sosok yang sudah mereka anggap keluarga itu.
“Apa kaballll kak Jejeeee?” Anak perempuan berkuncir dua itu sudah memeluk kaki Jemiah senang.
“Baik sayangg, kabar Faya gimana?”
“Baikkkkk.” Anak kecil bernama Faya itu menjawab dengan malu-malu.
“Eh, Jeje sama Juju sudah sampai?” Keduanya menoleh,
“Halo Bunda.” Jemiah meletakkan paper bag berisi hadiah untuk anak-anak Rumah Kasih, sebelum memeluk perempuan yang ia panggil bunda, disusul Julian di belakangnya.
“Kalian apa kabar? Sehat semua?” Keduanya mengangguk dengan senyuman hangat.
“Sehat Bun, Bunda gimana? Sehat?” Tanya Julian balik.
“Sehat dong, semakin sehat setelah lihat kalian berdua.” Ketiganya tekekeh.
“Bunda dengar kalian habis konser ya? Gimana konsernya? Lancar?”
“Iya Bun, makanya kita baru dapat libur, dan lancar konsernya,” jawab Jemiah lalu kembali mengambil paper bag-nya.
“Kalian repot-repot sekali, kalian datang kesini aja, mereka sudah senang.” Ucap Bunda yang diangguki anak – anak disana.
“Kak Jeje cantik cekali.” Celetuk Faya lalu kembali bersembunyi di balik kaki Jeje.
“Cantik?” Tanya Jemiah memastikan.
“Iya, kemalin minggu kita lihat konsel kakak-kakak 7DREAM dari komputel baleng kak Alea, telus aku lihat kak Jeje cantik cekali disana.” Jawab Faya masih bergelayut manja di kaki Jeje.
“Betulll, aku juga lihat loh dan keren sekali 7DREAM.” Saut anak kecil berambut pendek.
“Terimakasih Chika, kakak senang kalian nonton konser 7DREAM.”
“Kak Juju juga tampan cekali, Ancel bilang kalau besal nanti akan sepelti kak Juju.” Keduanya reflek menoleh ke anak laki-laki bernama Ansel, sosok yang paling semangat setelah melihat Julian.
“Ssttt, masih rahasia tau.” Jawab Ansel lalu bersembunyi dibelakang Julian.
Jemiah berjongkok,
“Emang Ansel gak mau jadi kayak kakak aja?” Tanyanya jahil.
Ansel menggeleng cepat,
“Kak Jeje ganteng juga, tapi banyak cantiknya, kalau kak Juju ganteng semua gitu, Ansel mau ganteng semua aja, biar cantiknya ke Faya aja.” Sontak jawaban Ansel membuat tiga orang dewasa disana tertawa lucu, dan Jemiah tidak keberatan sama sekali dicap cantik oleh mereka.
“Kalau gitu kalian mau hadiah gak? Hadiah karena sudah nonton konser 7DREAM?” Tanya Jemiah sambil menunjukkan paper bag yang ia bawa sejak tadi.
“MAU MAUUUU.” Seluruh anak-anak disana membalas dengan semangat dan langsung mengikuti arah pergerakan Jemiah dan Julian.
Jemiah membiarkan semilir angin menerpa wajahnya pelan, menggerakan setiap helaian rambut. Iris kelamnya menatap lembut ke arah anak-anak yang sedang sibuk mengoper bola kaki bersama Julian.
Namun jika diperhatikan, irisnya bergerak mengikuti sosok bertubuh paling besar disana, sesekali ia tertawa ketika melihat adegan lucu yang tercipta tanpa sengaja.
“Jeje.” Jemiah reflek menoleh, sosok perempuan yang ia panggil bunda datang dengan nampan berisi tiga gelas coklat panas.
“Diminum dulu Je.”
“Bunda kenapa repot-repot, Jeje bawa minum kok di mobil.” Pria itu dengan sigap membantu sang bunda.
“Gak repot, Bunda kangen buatin coklat panas buat anak-anak Bunda yang jauh ini.” Ujarnya sambil mengelus rambut Jemiah pelan.
Elusan itu sukses menyamankan Jemiah.
“Kamu libur sampai kapan sayang?”
“Minggu ini aja Bun, dikasih istirahat karena mulai minggu depan mulai fokus ke anniversary project.” Balas Jemiah lalu menyesap pelan coklat panasnya.
“Ahh iya, tadi si Juju cerita kalau kalian sudah mau tujuh tahun ya? Gak terasa ya Je, kayaknya baru kemarin kalian kesini buat kasih berita debut kalian ke Bunda.” Kenang Bunda sambil menepuk lengan Jemiah.
Rumah Kasih, salah satu tempat singgah Jemiah sejak kecil. Sejak ia belum lahir, orang tuanya adalah donatur tetap disana, Jemiah tumbuh bersama anak-anak Rumah Kasih.
Sosok perempuan yang ia panggil bunda itulah yang menemaninya sejak kecil, setiap kali Jemiah mendatangi Rumah Kasih.
Sebelum kedua orangtuanya memutuskan pindah ke negara lain, hampir setiap bulan, Jemiah mengajak mereka mendatangi Rumah Kasih. Namun setelah keduanya pindah, intensitas mengunjungi tempat itu semakin berkurang, pun setelah Jemiah berhasil debut menjadi idol.
Sedangkan Julian mengetahui Rumah Kasih dari Jemiah. Jemiah mengajaknya kesana ketika masa trainee mereka, sejak saat itu Julian juga menjadi bagian Rumah Kasih.
Setiap mendapatkan hari libur, Jemiah selalu mengusahakan untuk datang ke Rumah Kasih, baik sendiri maupun bersama Julian, seperti sekarang ini.
Dan sekarang keduanya menjadi donatur tetap di Rumah Kasih, membantu anak-anak Rumah Kasih mendapatkan pendidikan yang lebih baik.
“Iya Bun, cepat sekali ya.” Irisnya kembali memperhatikan permainan Julian yang semakin seru.
“Bunda senang sekali kalau Jeje dan Juju bisa sama-sama terus kedepannya, Bunda gak perlu khawatir karena kalian bisa saling jaga.” Jemiah menoleh,
“Bun,”
“Ya sayang?”
Ia ragu, lidahnya seperti kelu, namun ia seperti harus menumpahkannya.
“Jeje sebenarnya dapat tawaran dari agensi lain, ada lebih dari dua agensi yang coba menghubungi Jeje.” Jemiah bisa menangkap ekspresi terkejut dari wajah cantik bundanya.
“Oh iya? Bagus dong sayang, berarti mereka tau kalau Jeje hebat.” Jemiah menghela nafas.
“Jeje bimbang ya?”
“Sedikit Bun, karena ada acting agency juga yang nawarin kontrak ke Jeje.” Bunda mengangguk, ia paham, sejak tiga tahun lalu Jemiah memang mulai terjun ke dunia akting.
“Jeje mau cerita ke Bunda sekarang atau nanti saja setelah Jeje sudah lebih yakin?” Jemiah goyah, tawaran halus bundanya seperti oasis di tengah padang pasir.
Ia perlu sosok yang bisa memberikannya sudut pandang baru,
“Sekarang Bun, sebelum Juju kesini.” Bundanya mengangguk, siap menjadi pendengar yang baik untuk Jemiah.
imgoodtoday