Win’s
“Bright?” Keempat pria yang sedang berbagi cerita itu reflek terdiam ketika melihat sosok Bright yang tiba-tiba datang.
“Nih,” tidak berniat menyapa orangtuanya, pria itu langsung menyerahkan paper bag coklat yang ia bawa untuk Win.
“Eh? thanks,” Ucap Win yang langsung menerima paper bag-nya. Ia masih bingung dengan situasinya, padahal dirinya sudah tau rencana Bright untuk menyusul mereka.
“Katanya kamu sibuk, kok nyusul?” Tanya Podd yang masih bingung melihat kedatangan anak sulungnya itu.
Bright mengendik,
“Pengen aja.” Balas Bright santai.
“Kerjaan kamu udah selesai bang?” Bright ngangguk.
“Udah pa, klien selesai lebih cepat dari perkiraan.”
“Duduk sini,” Gawin menepuk kursi di sampingnya yang di-iyakan Bright.
Win menggaruk pipinya, sebelum menyadari jika ada yang lebih bingung dengan situasi mereka.
“Bright, kenalin ini bang Tay.” Bright noleh, tatapannya bertemu dengan Tay.
“Bang Tay, ini Bright yang pernah Win ceritain.” Tay ngangguk, keduanya bersalaman.
“Gue kira lu bakal sama dokter itu.” Ucap Bright.
“Hah? Dokter?” Win mengernyit.
“Oh! Luke maksud lu?” Bright ngangguk.
“Gak ada alasan kenapa gue harus bawa Luke kesini.”
“Luke siapa?” Tanya Podd penasaran, nama baru untuknya.
“Yang mau di jodohin sama Win.” Balas Bright santai, berbeda dengan Win yang masih belum terbiasa dengan situasi saat ini.
“Ohh, papo kira itu Tay. Makanya Win ngajak Tay kesini.”
“Jadi Tay ini siapanya Win?” Tanya Gawin ke arah Tay yang ikut bingung dengan pembicaraan keluarga Bright.
Apa semua keluarga Bright suka blak-blakan gini kalo ngomong?
“Kok bisa keluarga lu mikir gue pacarnya Win?” Bright noleh, Tay mendekat ke arahnya dengan dua botol soda.
“Karena itu hal yang paling masuk akal.” Balas pria itu sambil menerima botol soda dari Tay.
“Gue kira mereka taunya Win pacar lu.”
“Gue udah jujur dari pertama, jadi mereka udah tau kalo gue sama Win biasa aja.” Tay ngangguk.
Keduanya menatap hamparan sawah dalam diam,
“Gue emang belum pernah ketemu langsung sama abangnya Win, tapi salah satu temen gue bilang kalo sepupunya nikah sama abangnya Win.”
“Dan gue pernah sekilas liat suaminya sepupu temen gue di studio, gue yakin itu gak mirip lu.” Tay ngangguk, menegak sodanya sebelum menjawab Bright.
“Gue bukan abangnya Win, gue sahabat abangnya.”
“Ceritanya panjang, tapi Win udah gue anggap adek sendiri. Gue sama Jumpol, abangnya Win, udah kayak body guard-nya itu anak dari jaman sekolah.” Lanjut Tay sambil melirik Win yang membantu orang tua Bright menyiapkan makan siang.
“Jadi kalian kenal dari lama?”
“Iya, lumayan.”
“Wajar kalo ortu gue ngira lu pacar dia.” Tay terkekeh.
“You know, there are friends, there is family, and then there is friend that become family. Gue yang terakhir.” Balas Tay pelan.
“Berapa lama lu kenal Win?” Tanyanya balik.
“Hmm not sure, tapi mungkin dua-tiga bulan.” Tay ngangguk.
“Gak nanya gue kenal Win darimana?”
“Gue tau, Win udah cerita. Thanks to help him.”
“Kenapa lu yang say thanks?”
“Karena gue abangnya,”
“Gue paham dia butuh bantuan banget waktu itu, dan lu bantuin dia.”
“Gak sengaja.”
“I know but still I wanna say thanks for that. Jumpol juga titip salam buat lu.” Bright ngangguk.
Lagi, keduanya terdiam.
“Bright.”
“Ya?”
“Win emang luarnya kelihatan he’s really fine.” Ucap pria yang lebih tua.
“But we never know his heart, right?” Lanjutnya sambil memutar tubuhnya ke arah Bright.
“What do you mean?” Tanya Bright balik.
Keduanya berhadapan.
“Bang Tay! Bright! Ayo makan!”
“Just don’t play with fire.” Bisik Tay pelan sebelum meninggalkan ekspresi bingung Bright.