Dearyou_today

Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan pergi ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk keduanya.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win lalu terkekeh pelan.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Setelah itu tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapaun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.


Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan pergi ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk keduanya.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win lalu terkekeh pelan.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Sekarang tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapaun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.


Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan pergi ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk keduanya.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win sebelum mencubit gemas pipi pria yang lebih muda.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Sekarang tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapaun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.


Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan pergi ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk Win.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win sebelum mencubit gemas pipi pria yang lebih muda.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Sekarang tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapaun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.


Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan pergi ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk Win.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win sebelum mencubit gemas pipi pria yang lebih muda.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Sekarang tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapaun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.


Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan kabur ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk Win.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win sebelum mencubit gemas pipi pria yang lebih muda.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Sekarang tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapaun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.


“Bright?” Keempat pria yang sedang berbagi cerita itu reflek terdiam ketika melihat sosok Bright yang tiba-tiba datang.

“Nih,” tidak berniat menyapa orangtuanya, pria itu langsung menyerahkan paper bag coklat yang ia bawa untuk Win.

“Eh? thanks,” Ucap Win yang langsung menerima paper bag-nya. Ia masih bingung dengan situasinya, padahal dirinya sudah tau rencana Bright untuk menyusul mereka.

“Katanya kamu sibuk, kok nyusul?” Tanya Podd yang masih bingung melihat kedatangan anak sulungnya itu.

Bright mengendik,

“Pengen aja.” Balas Bright santai.

“Kerjaan kamu udah selesai bang?” Bright ngangguk.

“Udah pa, klien selesai lebih cepat dari perkiraan.”

“Duduk sini,” Gawin menepuk kursi di sampingnya yang di-iyakan Bright.

Win menggaruk pipinya, sebelum menyadari jika ada yang lebih bingung dengan situasi mereka.

“Bright, kenalin ini bang Tay.” Bright noleh, tatapannya bertemu dengan Tay.

“Bang Tay, ini Bright yang pernah Win ceritain.” Tay ngangguk, keduanya bersalaman.

“Gue kira lu bakal sama dokter itu.” Ucap Bright.

“Hah? Dokter?” Win mengernyit.

“Oh! Luke maksud lu?” Bright ngangguk.

“Gak ada alasan kenapa gue harus bawa Luke kesini.”

“Luke siapa?” Tanya Podd penasaran, nama baru untuknya.

“Yang mau di jodohin sama Win.” Balas Bright santai, berbeda dengan Win yang masih belum terbiasa dengan situasi saat ini.

“Ohh, papo kira itu Tay. Makanya Win ngajak Tay kesini.”

“Jadi Tay ini siapanya Win?” Tanya Gawin ke arah Tay yang ikut bingung dengan pembicaraan keluarga Bright.

Apa semua keluarga Bright suka blak-blakan gini kalo ngomong?


“Kok bisa keluarga lu mikir gue pacarnya Win?” Bright noleh, Tay mendekat ke arahnya dengan dua botol soda.

“Karena itu hal yang paling masuk akal.” Balas pria itu sambil menerima botol soda dari Tay.

“Gue kira mereka taunya Win pacar lu.”

“Gue udah jujur dari pertama, jadi mereka udah tau kalo gue sama Win biasa aja.” Tay ngangguk.

Keduanya menatap hamparan sawah dalam diam,

“Gue emang belum pernah ketemu langsung sama abangnya Win, tapi salah satu temen gue bilang kalo sepupunya nikah sama abangnya Win.”

“Dan gue pernah sekilas liat suaminya sepupu temen gue di studio, gue yakin itu gak mirip lu.” Tay ngangguk, menegak sodanya sebelum menjawab Bright.

“Gue bukan abangnya Win, gue sahabat abangnya.”

“Ceritanya panjang, tapi Win udah gue anggap adek sendiri. Gue sama Jumpol, abangnya Win, udah kayak body guard-nya itu anak dari jaman sekolah.” Lanjut Tay sambil melirik Win yang membantu orang tua Bright menyiapkan makan siang.

“Jadi kalian kenal dari lama?”

“Iya, lumayan.”

“Wajar kalo ortu gue ngira lu pacar dia.” Tay terkekeh.

You know, there are friends, there is family, and then there is friend that become family. Gue yang terakhir.” Balas Tay pelan.

“Berapa lama lu kenal Win?” Tanyanya balik.

“Hmm not sure, tapi mungkin dua-tiga bulan.” Tay ngangguk.

“Gak nanya gue kenal Win darimana?”

“Gue tau, Win udah cerita. Thanks.”

“Kenapa lu yang say thanks?”

“Karena gue abangnya,”

“Gue paham dia butuh bantuan banget waktu itu, dan lu bantuin dia.”

“Gak sengaja.”

I know but still I wanna say thanks for that. Jumpol juga titip salam buat lu.” Bright ngangguk.

Lagi, keduanya terdiam.

“Bright.”

“Ya?”

“Win emang luarnya kelihatan he’s really fine.” Ucap pria yang lebih tua itu tiba-tiba.

But we never know his heart, right?” Lanjutnya sambil memutar tubuhnya ke arah Bright.

What do you mean?” Tanya Bright balik.

Keduanya berhadapan,

“Bang Tay! Bright! Ayo makan!”

Just don’t play with fire.” Bisik Tay pelan sebelum meninggalkan ekspresi bingung Bright.

“Bright?” Keempat pria yang sedang berbagi cerita itu reflek terdiam ketika melihat sosok Bright yang tiba-tiba datang.

“Nih,” tidak berniat menyapa orangtuanya, pria itu langsung menyerahkan paper bag coklat yang ia bawa untuk Win.

“Eh? thanks,” Ucap Win yang langsung menerima paper bag-nya. Ia masih bingung dengan situasinya, padahal dirinya sudah tau rencana Bright untuk menyusul mereka.

“Katanya kamu sibuk, kok nyusul?” Tanya Podd yang masih bingung melihat kedatangan anak sulungnya itu.

Bright mengendik,

“Pengen aja.” Balas Bright santai.

“Kerjaan kamu udah selesai bang?” Bright ngangguk.

“Udah pa, klien selesai lebih cepat dari perkiraan.”

“Duduk sini,” Gawin menepuk kursi di sampingnya yang di-iyakan Bright.

Win menggaruk pipinya, sebelum menyadari jika ada yang lebih bingung dengan situasi mereka.

“Bright, kenalin ini bang Tay.” Bright noleh, tatapannya bertemu dengan Tay.

“Bang Tay, ini Bright yang pernah Win ceritain.” Tay ngangguk, keduanya bersalaman.

“Gue kira lu bakal sama dokter itu.” Ucap Bright.

“Hah? Dokter?” Win mengernyit.

“Oh! Luke maksud lu?” Bright ngangguk.

“Gak ada alasan kenapa gue harus bawa Luke kesini.”

“Luke siapa?” Tanya Podd penasaran, nama baru untuknya.

“Yang mau di jodohin sama Win.” Balas Bright santai, berbeda dengan Win yang masih belum terbiasa dengan situasi saat ini.

“Ohh, papo kira itu Tay. Makanya Win ngajak Tay kesini.”

“Jadi Tay ini siapanya Win?” Tanya Gawin ke arah Tay yang ikut bingung dengan pembicaraan keluarga Bright.

Apa semua keluarga Bright suka blak-blakan gini kalo ngomong?


“Kok bisa keluarga lu mikir gue pacarnya Win?” Bright noleh, Tay mendekat ke arahnya dengan dua botol soda.

“Karena itu hal yang paling masuk akal.” Balas pria itu sambil menerima botol soda dari Tay.

“Gue kira mereka taunya Win pacar lu.”

“Gue udah jujur dari pertama, jadi mereka udah tau kalo gue sama Win biasa aja.” Tay ngangguk.

Keduanya menatap hamparan sawah dalam diam,

“Gue emang belum pernah ketemu langsung sama abangnya Win, tapi salah satu temen gue bilang kalo sepupunya nikah sama abangnya Win.”

“Dan gue pernah sekilas liat suaminya sepupu temen gue di studio, gue yakin itu gak mirip lu.” Tay ngangguk, menegak sodanya sebelum menjawab Bright.

“Gue bukan abangnya Win, gue sahabat abangnya.”

“Ceritanya panjang, tapi Win udah gue anggap adek sendiri. Gue sama Jumpol, abangnya Win, udah kayak body guard-nya itu anak dari jaman sekolah.” Lanjut Tay sambil melirik Win yang membantu orang tua Bright menyiapkan makan siang.

“Jadi kalian kenal dari lama?”

“Iya, lumayan.”

“Wajar kalo ortu gue ngira lu pacar dia.” Tay terkekeh.

You know, there are friends, there is family, and then there is friend that become family. Gue yang terakhir.” Balas Tay pelan.

“Berapa lama lu kenal Win?” Tanyanya balik.

“Hmm not sure, tapi mungkin dua-tiga bulan.” Tay ngangguk.

“Gak nanya gue kenal Win darimana?”

“Gue tau, Win udah cerita. Thanks.”

“Kenapa lu yang say thanks?”

“Karena gue abangnya,”

“Gue paham dia butuh bantuan banget waktu itu, dan lu bantuin dia.”

“Gak sengaja.”

I know but still I wanna say thanks for that. Jumpol juga titip salam buat lu.” Bright ngangguk.

Lagi, keduanya terdiam.

“Bright.”

“Ya?”

“Win emang luarnya kelihatan he’s really fine.” Ucap pria yang lebih tua.

But we never know his heart, right?” Lanjutnya sambil memutar tubuhnya ke arah Bright.

What do you mean?” Tanya Bright balik.

Keduanya berhadapan.

“Bang Tay! Bright! Ayo makan!”

Just don’t play with fire.” Bisik Tay pelan sebelum meninggalkan ekspresi bingung Bright.

“Bright?” Keempat pria yang sedang berbagi cerita itu reflek terdiam ketika melihat sosok Bright yang tiba-tiba datang.

“Nih,” tidak berniat menyapa orangtuanya, pria itu langsung menyerahkan paper bag coklat yang ia bawa untuk Win.

“Eh? thanks,” Ucap Win yang langsung menerima paper bag-nya. Ia masih bingung dengan situasinya, padahal dirinya sudah tau rencana Bright untuk menyusul mereka.

“Katanya kamu sibuk, kok nyusul?” Tanya Podd yang masih bingung melihat kedatangan anak sulungnya itu.

Bright mengendik,

“Pengen aja.” Balas Bright santai.

“Kerjaan kamu udah selesai bang?” Bright ngangguk.

“Udah pa, klien selesai lebih cepat dari perkiraan.”

“Duduk sini,” Gawin menepuk kursi di sampingnya yang di-iyakan Bright.

Win menggaruk pipinya, sebelum menyadari jika ada yang lebih bingung dengan situasi mereka.

“Bright, kenalin ini bang Tay.” Bright noleh, tatapannya bertemu dengan Tay.

“Bang Tay, ini Bright yang pernah Win ceritain.” Tay ngangguk, keduanya bersalaman.

“Gue kira lu bakal sama dokter itu.” Ucap Bright.

“Hah? Dokter?” Win mengernyit.

“Oh! Luke maksud lu?” Bright ngangguk.

“Gak ada alasan kenapa gue harus bawa Luke kesini.”

“Luke siapa?” Tanya Podd penasaran, nama baru untuknya.

“Yang mau di jodohin sama Win.” Balas Bright santai, berbeda dengan Win yang masih belum terbiasa dengan situasi saat ini.

“Ohh, papo kira itu Tay. Makanya Win ngajak Tay kesini.”

“Jadi Tay ini siapanya Win?” Tanya Gawin ke arah Tay yang ikut bingung dengan pembicaraan keluarga Bright.

Apa semua keluarga Bright suka blak-blakan gini kalo ngomong?


“Kok bisa keluarga lu mikir gue pacarnya Win?” Bright noleh, Tay mendekat ke arahnya dengan dua botol soda.

“Karena itu hal yang paling masuk akal.” Balas pria itu sambil menerima botol soda dari Tay.

“Gue kira mereka taunya Win pacar lu.”

“Gue udah jujur dari pertama, jadi mereka udah tau kalo gue sama Win biasa aja.” Tay ngangguk.

Keduanya menatap hamparan sawah dalam diam,

“Gue emang belum pernah ketemu langsung sama abangnya Win, tapi salah satu temen gue bilang kalo sepupunya nikah sama abangnya Win.”

“Dan gue pernah sekilas liat suaminya sepupu temen gue di studio, gue yakin itu gak mirip lu.” Tay ngangguk, menegak sodanya sebelum menjawab Bright.

“Gue bukan abangnya Win, gue sahabat abangnya.”

“Ceritanya panjang, tapi Win udah gue anggap adek sendiri. Gue sama Jumpol, abangnya Win, udah kayak body guard-nya itu anak dari jaman sekolah.” Lanjut Tay sambil melirik Win yang membantu orang tua Bright menyiapkan makan siang.

“Jadi kalian kenal dari lama?”

“Iya, lumayan.”

“Wajar kalo ortu gue ngira lu pacar dia.” Tay terkekeh.

You know, there are friends, there is family, and then there is friend that become family. Gue yang terakhir.” Balas Tay pelan.

“Berapa lama lu kenal Win?” Tanyanya balik.

“Hmm not sure, tapi mungkin dua-tiga bulan.” Tay ngangguk.

“Gak nanya gue kenal Win darimana?”

“Gue tau, Win udah cerita. Thanks to help him.”

“Kenapa lu yang say thanks?”

“Karena gue abangnya,”

“Gue paham dia butuh bantuan banget waktu itu, dan lu bantuin dia.”

“Gak sengaja.”

I know but still I wanna say thanks for that. Jumpol juga titip salam buat lu.” Bright ngangguk.

Lagi, keduanya terdiam.

“Bright.”

“Ya?”

“Win emang luarnya kelihatan he’s really fine.” Ucap pria yang lebih tua.

But we never know his heart, right?” Lanjutnya sambil memutar tubuhnya ke arah Bright.

What do you mean?” Tanya Bright balik.

Keduanya berhadapan.

“Bang Tay! Bright! Ayo makan!”

Just don’t play with fire.” Bisik Tay pelan sebelum meninggalkan ekspresi bingung Bright.

“Bright?” Keempat pria yang sedang berbagi cerita itu reflek terdiam ketika melihat sosok Bright yang tiba-tiba datang.

“Nih,” tidak berniat menyapa orangtuanya, pria itu langsung menyerahkan paper bag coklat yang ia bawa untuk Win.

“Eh? thanks,” Ucap Win yang langsung menerima paper bag-nya. Ia masih bingung dengan situasinya padahal dirinya sudah tau rencana Bright untuk menyusul mereka.

“Katanya kamu sibuk, kok nyusul?” Tanya Podd yang masih bingung melihat kedatangan anak sulungnya itu.

Bright mengendik,

“Pengen aja.” Balas Bright santai.

“Kerjaan kamu udah selesai bang?” Bright ngangguk.

“Udah pa, klien selesai lebih cepat dari perkiraan.”

“Duduk sini,” Gawin menepuk kursi di sampingnya yang di-iyakan Bright.

Win menggaruk pipinya, sebelum menyadari jika ada yang lebih bingung dengan situasi mereka.

“Bright, kenalin ini bang Tay.” Bright noleh, tatapannya bertemu dengan Tay.

“Bang Tay, ini Bright yang pernah Win ceritain.” Tay ngangguk, keduanya bersalaman.

“Gue kira lu bakal sama dokter itu.” Ucap Bright.

“Hah? Dokter?” Win mengernyit.

“Oh! Luke maksud lu?” Bright ngangguk.

“Gak ada alasan kenapa gue harus bawa Luke kesini.”

“Luke siapa?” Tanya Podd penasaran, nama baru untuknya.

“Yang mau di jodohin sama Win.” Balas Bright santai, berbeda dengan Win yang masih belum terbiasa dengan situasi saat ini.

“Ohh, papo kira itu Tay. Makanya Win ngajak Tay kesini.”

“Jadi Tay ini siapanya Win?” Tanya Gawin ke arah Tay yang ikut bingung dengan pembicaraan keluarga Bright.

Apa semua keluarga Bright suka blak-blakan gini kalo ngomong?


“Kok bisa keluarga lu mikir gue pacarnya Win?” Bright noleh, Tay mendekat ke arahnya dengan dua botol soda.

“Karena itu hal yang paling masuk akal.” Balas pria itu sambil menerima botol soda dari Tay.

“Gue kira mereka taunya Win pacar lu.”

“Gue udah jujur dari pertama, jadi mereka udah tau kalo gue sama Win biasa aja.” Tay ngangguk.

Keduanya menatap hamparan sawah dalam diam,

“Gue emang belum pernah ketemu langsung sama abangnya Win, tapi salah satu temen gue bilang kalo sepupunya nikah sama abangnya Win.”

“Dan gue pernah sekilas liat suaminya sepupu temen gue di studio, gue yakin itu gak mirip lu.” Tay ngangguk, menegak sodanya sebelum menjawab Bright.

“Gue bukan abangnya Win, gue sahabat abangnya.”

“Ceritanya panjang, tapi Win udah gue anggap adek sendiri. Gue sama Jumpol, abangnya Win, udah kayak body guard-nya itu anak dari jaman sekolah.” Lanjut Tay sambil melirik Win yang membantu orang tua Bright menyiapkan makan siang.

“Jadi kalian kenal dari lama?”

“Iya, lumayan.”

“Wajar kalo ortu gue ngira lu pacar dia.” Tay terkekeh.

You know, there are friends, there is family, and then there is friend that become family. Gue yang terakhir.” Balas Tay pelan.

“Berapa lama lu kenal Win?” Tanyanya balik.

“Hmm not sure, tapi mungkin dua-tiga bulan.” Tay ngangguk.

“Gak nanya gue kenal Win darimana?”

“Gue tau, Win udah cerita. Thanks to help him.”

“Kenapa lu yang say thanks?”

“Karena gue abangnya,”

“Gue paham dia butuh bantuan banget waktu itu, dan lu bantuin dia.”

“Gak sengaja.”

I know but still I wanna say thanks for that. Jumpol juga titip salam buat lu.” Bright ngangguk.

Lagi, keduanya terdiam.

“Bright.”

“Ya?”

“Win emang luarnya kelihatan he’s really fine.” Ucap pria yang lebih tua.

But we never know his heart, right?” Lanjutnya sambil memutar tubuhnya ke arah Bright.

What do you mean?” Tanya Bright balik.

Keduanya berhadapan.

“Bang Tay! Bright! Ayo makan!”

Just don’t play with fire.” Bisik Tay pelan sebelum meninggalkan ekspresi bingung Bright.