Dearyou_today

Mile menghentikan langkahnya di depan pintu hitam mengkilap yang berada dekat dengan tangga.

Tangannya meraih handle pintu bertulisan “movie room” lalu mendorongnya hingga terbuka.

Niat hati ingin mengecek sebentar kegiatan menonton adek-adeknya, namun yang ia temukan adalah layar tv yang masih menyala di depan tiga orang yang sudah terbang ke alam mimpi.

Ia mengecek jam tangannya, pukul 1 pagi.

Pantas saja

Bukan kali pertama Mile melihat keadaan seperti ini, biasanya ia akan menemukan kondisi seperti ini jika mereka memilih movie night di hari kerja alias bukan akhir pekan.

Kaki jenjangnya melangkah masuk dengan perlahan, enggan membangunkan ketiga orang yang tidur bersandar satu sama lain di atas sofa besar.

Ia mengambil selimut besar dari dalam lemari, lalu menutupi tubuh Natta, Mos, dan Nakunta. Tangannya meraih remote ac dan tv, mengatur suhu ruangan dan segera mematikan layar tv.

Ia juga merapikan kotak-kotak pizza dan mengambil gelas-gelas yang berisi cola untuk dibawa ke dapur.

Maniknya memperhatikan kondisi ruangan itu sekali lagi sebelum akhirnya keluar dari sana dan menutup pintu dengan perlahan.


Natta terbangun dengan posisi yang cukup membuat bahunya pegal karena dua kepala yang bersandar disana. Dengan perlahan ia menggeser posisi kepala Mos dan Nakunta agar bersandar ke sofa dan keluar dari selimut yang entah sejak kapan sudah menutupi tubuhnya.

Dirinya hanya mengingat jika sepertinya ia tertidur lebih awal meninggalkan Mos dan Nakunta di pertengahan film.

Tangannya merapikan posisi selimut, menutupi kedua tubuh kakak adek itu lalu meregangkan tubuhnya sendiri sebelum keluar dari ruangan.

Ia melangkah dengan tenang ke arah dapur untuk mengambil segelas air sebelum atensinya teralih ke arah tumpukan kotak pizza dan gelas berisi cola di atas meja makan.

“Siapa yang bawa kesini?” Gumamnya lalu membawa tiga gelas kotor ke kitchen sink.

“Loh Nat?” Natta terkesiap, gelas di tangannya nyaris jatuh.

Pria itu menoleh dengan kesal,

“Mile! Gue kaget!” Mile terkekeh

Sorry sorry,gue juga kaget liat lu berdiri disini.”

“Ini jam berapa deh?” Tanya Natta sambil mengambil cangkir kopi dari tangan Mile, membawanya ke kitchen sink.

“Tadi sebelum turun gue liat sih jam 2.” Natta mengangguk,

“Terus ini lu mau buat kopi lagi?”

“Rencananya gitu, gue masih harus ngecek kerjaan.” Balas Mile lalu bersandar di island dapur.

“Gue buatin tapi nanti lu antar gue ke depan sekalian.”

“Ngapain?”

“Lu kunci gerbang lah, gue mau balik rumah.”

“Gak tidur sini aja Nat? Udah jam segini.”

“Revisian gue belum beres, kurang dikit sih jadi mau gue kerjain sekarang aja mumpung bangun.” Pria itu bergerak ke arah mesin kopi.

“Lu bisa pake laptop gue.”

“Tapi file-nya kan di laptop gue Mile.”

“Gue antar lu ambil laptop, kerjain disini aja.”

Natta membalik tubuhnya, ikut bersandar di island dapur.

“Bolak balik deh Mile, gue kerjain di rumah aja. Si Bara gak usah di bangunin.”

Keduanya terdiam, menunggu tetesan kopi mengisi cangkir dengan pikiran masing-masing.

Apo masuk ke dalam mobil dengan satu paper cup kopi, Mile tidak memintanya, hanya inisiatif Apo untuk membawakan pacarnya hot americano.

“Nih,” ucapnya lalu meletakkan paper cup di drink holder mobil Mile.

“Tau aja aku belum ngopi dari pagi.” Balas Mile lalu menatap Apo.

“Udah hafal.” Setelahnya pria yang lebih muda merentangkan tangan yang langsung disambut Mile, keduanya berpelukan.

Yang lebih tua menyandarkan kepalanya di bahu Apo, menghirup dalam aroma tubuh pacarnya itu.

Charging mode on.” Bisik Apo dan dengan pelan ia menepuk punggung lebar Mile, lalu beralih mengelus belakang kepala Mile.

Sesekali ia menggambar lingkaran-lingkaran kecil di punggung Mile dengan telunjuknya, membiarkan kepala Mile di bahu kirinya.

“Aku capek,” setelah saling diam beberapa menit, akhirnya yang lebih tua membuka suara.

“Iya.” Apo mengangguk, ia tidak bertanya apapun, membiarkan pacarnya yang akan bercerita dengan sendirinya. Pria manis itu memainkan helaian rambut Mile.

“Hari ini ada 3 meeting dari pagi, jam makan siang aja belum selesai tapi kepalaku udah panas banget.”

And still have another 3 meetings later, oh God.” Apo tersenyum di balik punggung Mile, selalu menyenangkan melihat si pria tahan banting itu mengeluh, terutama jika soal pekerjaan.

Seberapa keras dan seriusnya Mile dalam hal pekerjaan, pria itu tetaplah manusia biasa yang bisa mengeluh jika ada hal yang membuat ia terlalu stress. Sebelumnya Mile kurang suka mengeluh, atau lebih tepatnya pria itu akan menanggung segala bebannya seorang diri.

Tapi setelah menjalin hubungan dengan Apo, secara perlahan ia membuka diri dan menumpahkan segala keluh kesah tentang pekerjaan atau hal lainnya kepada Apo. Dan pacarnya akan mendengarkan dengan sangat baik tanpa menyela ataupun menyalahkan dirinya.

Mile finally found his happiness source.

Should I resign from my own company?” Mile menghela nafas.

“Kan udah gue bilang, gaji gue masih bisa lah kalo buat ngasih makan kita berdua sama kucing-kucing kita, asalkan gak buat bayarin hobi gitar lu aja sih Mile. Soalnya gaji gue sama gitar lu masih mahalan gitar lu.” Apo mengelus punggung Mile.

“Jadi kalo mau resign ya resign aja, masih ada gue yang kerja.” Ucap Apo santai masih mengelus punggung Mile yang tiba-tiba bergetar, pria itu tertawa.

Pelukan mereka terlepas, keduanya tertawa.

“Tapi kalo lu jual gitar-gitar lu, tanpa gaji gue pun itu hasil jual gitar bisa buat lu hidup sampe beberapa tahun ke depan sih Mile.” Mata Mile menyipit, bahunya bergetar. Ucapan Apo sangat menghiburnya.

Bagaimana mungkin ia tega mengundurkan diri dari pekerjaannya, jika ia masih ingin membahagiakan pria manis di hadapannya saat ini.

“Jadi kamu mau nafkahin aku?” Keduanya saling berhadapan.

“Kenapa nggak?” Mile mengangkat alisnya satu,

“Berarti nafkahin as husband?” Apo mengernyit, dan detik selanjutnya pria itu merasakan panas di wajahnya, merona.

“Maksud gue, kan gak ada aturan cuma lu yang boleh jajanin gue. Gue juga bisa jajanin lu gitu.” Dengan cepat apo memberikan penjelasan yang dibalas kekehan pelan Mile. Pria itu bisa melihat pacarnya salah tingkah.

“Oke, nanti kalo aku udah capeeeeek banget dan gak bisa nge-handle perusahaan lagi, I will take my resign. But for now, aku masih mau capek-capek kerja dulu buat kamu, buat kita.” Mile mencubit gemas pipi kiri Apo, yang dicubit meringis.

“Terimakasih Po, udah mau dengerin keluhanku di tengah jam kerja kamu. You don’t even ask why, and just listen to me.” Apo ngangguk, ia tersenyum lebar.

Are you good now?” Mile menghembuskan nafas perlahan sebelum akhirnya mengangguk.

Pria itu mengecek jam di mobilnya, jam makan siang hampir selesai dan dirinya harus segera kembali ke kantor karena akan ada meeting lagi.

“Aku tadinya mau banget ngajakin kamu lunch, tapi udah ada janji meeting.”

That’s okay, nanti kan ketemu lagi.” Mile meraih kedua tangan Apo lalu menempelkan di pipinya.

Charging mode off, thank you so much babe.” Apo terkekeh.

Keduanya bertukar ciuman singkat sebelum akhirnya Apo keluar dari mobil Mile dan kembali bekerja, begitupun dengan pria yang lebih tua.

“Demi apapun kagetnya gue waktu liat muka itu orang, ngalah-ngalahin dari jumpscare film horror tau gak.” Ucap Job dari kamar kucing milik Apo.

Empat sekawan itu memutuskan men-take away kopi dan segala dessert ke kontrakan Apo yang dipilih sebagai base camp kali ini.

Didn’t he stayed in Singapore? Kok tiba-tiba nongol disini?” Tanya Job yang masih sibuk mengayunkan cat teaser di depan lima anak bulu yang menggemaskan.

He did, tapi dia balik enam bulan lalu. Bible juga baru tau tiga bulan lalu, dan itu juga karena gak sengaja ketemu di gym.” Balas Build dari ruang tengah.

“Gym? You never tell us about this Biu?” Jeff mengernyitkan alis.

“Ya karena Bib ketemunya waktu lagi dinas ke luar kota, jadi gue kira itu bukan hal yang harus diceritain gitu loh. Bible juga ngiranya dia cuma liburan doang, sampai bulan lalu dia nelfon pacar gue terus bilang kalo buka kafe disini dan gobloknya gue lupa.” Jelas Build lalu menghela nafas.

Kalau bukan karena dirinya sedang sibuk menjawab telfon dari Bible setelah turun dari mobil, mungkin ia akan sama kagetnya dengan Apo dan Job ketika melihat sosok pemilik kafe baru yang mereka datangi tadi.

“Bentar deh, jadi dia persiapan buat kafe itu cuma enam bulan doang?”

“Job lu bisa gak sih ikut duduk disini aja sama kita, gue kayak ngobrol sama tembok tau gak.”

“Gue lagi seru nih, mana ada lobster sama kucai segala disini.” Balas Job yang kali ini sibuk menggendong donat, kucing putih cantik milik Apo.

Lobster itu kucing punya Mile, sedangkan kucai kucingnya Jeff. Keduanya diambil Jeff dari apartemennya sebelum ke rumah Apo.

“Gue tiap dengar nama kucingnya Jeff sama bang Mile bawaannya laper dah.” Ucap Build lalu menyedot french vanilla-nya.

“Emang, orang kaya tapi gak kreatif.” Sambung Job lalu keluar dari kamar kucing dengan menggendong lobster.

“Bacot!” Balas Jeff santai.

“Lu ngomong apa gitu dong Po, kalo diam gini, gue jadi panik.” Build menyenggol lutut Apo.

“Lu mau gue ngomong apa? Gue juga bingung mau kasih komentar apaan, spechless-nya masih ada banget.” Jawab Apo lalu menghela nafas.

Dirinya masih tidak percaya dengan apa yang ia lihat di kafe beberapa waktu yang lalu.

“Lu gak lagi mikir masa lalu kan Po?” Reflek Apo melempar bantal kecil ke arah Job.

“Jangan clbk loh,” Apo menatap Build sengit.

Clbk yang mana nih? Cinta lama bersemi kembali atau cinta lama belum kelar?” Apo sadar Jeff menggodanya.

“Anjing lah!” Apo meraih butter croissant-nya dengan kesal.

Ketiga temannya tertawa, siapa sangka setelah hampir empat tahun, dirinya bertemu lagi dengan sosok yang masuk dalam list “orang yang paling dihindari” di kehidupannya.

“Oh, ngomongin masalah persiapan kafe. Kata Bible, yang ngurus pembangunan dan lain-lain itu kakaknya Nodt. Jadi dia datang langsung masuk aja gitu.” Tiba-tiba Build ingat pertanyaan Job sebelumnya.

“Yah kesebut noh namanya.” Build reflek menutup mulutnya.

“Ups, tidak sengaja Apo.” Apo mendengus,

Lagi, setelah hampir empat tahun, nama itu terdengar kembali.

Nodt,

Nodt Mahesa lengkapnya, mantan Apo empat tahun lalu.

Salah satu alasan terbesar Apo untuk keluar dari tempat ia kerja sebelumnya dan bergabung dengan sky cafe.

Pria itu masih ingat bagaimana rasa sakitnya ketika ditinggal pergi tanpa memberikan penjelasan berarti.

Yang Apo tau saat itu, mantan pacarnya hanya mengatakan akan menetap di Singapura tanpa alasan apapun.

“Lu gak tiba-tiba gagal move on kan Po?” Pertanyaan asal Job sukses mengembalikan atensinya.

“Jobbbbbb!” Build memukul lengan pria yang duduk di sampingnya.

“Aduh, kan gue nanya anjing. Lagian seinget gue nih, Apo pernah cerita kalo sama Nodt tuh gak ada kata putus, ya kan Po?”

Maybe?” Balas Apo ragu.

“Jujur, kadang gue suka nyesel kuliah di luar tuh ya gini nih, banyak ketinggalan berita.” Celetuk Jeff sambil memotong blueberry cake milik Build.

Jeff literally said love life-nya Apo itu berita, what the fuck.” Build tidak bisa menahan tawanya.

“Brengsek.” Apo menendang sepupu kurang ajarnya itu.

“Apakah ini puncak komedi kehidupan percintaan Apo? Mari kita saksikan bersama-sama.” Ucap Job dengan nada serius sambil menjadikan sendok yang ia pegang sebagai mic.

Apo menatap ketiga temannya dengan ekspresi lelah, setidaknya kehadiran mereka bertiga sekarang sangat menghibur dirinya dan segala macam pikiran yang berputar di kepalanya saat ini.

“Heh heh, Win.” Tung buru-buru menyikut Win yang masih sibuk memperhatikan orang tuanya.

“Apaan,”

“Itu liat tuh,” Tung menunjuk arah panggung dengan dagunya yang langsung diikuti Win.

Pria itu reflek memundurkan tubuhnya ketika melihat Bright dan Ryu naik ke atas panggung.

“Mau nyanyi tuh?” Tanya Pong bingung,

“Lu gak liat noh Bright bawa gitar bukan bawa nasi, yaiyalah nyanyi anjir.” Balas Frank kesal.

“Gue kira mau adu jotos sama satunya,”

“Itu adeknya goblok.” Kali ini Tung ikutan kesal.

Win hanya bisa mengabaikan obrolan aneh teman-temannya, matanya masih memperhatikan duo Simanjuntak yang ambil posisi masing-masing.

“Selamat malam,” sapa Bright.

“Terimakasih untuk kesempatan yang diberikan, sebelumnya saya ingin mengucapkan selamat ulang tahun untuk orang tua kedua saya, daddy Pavel.”

Reflek keempat teman Win menoleh ke arahnya,

“Gue gak tau apa-apa jing,” bisik Win agar tidak terdengar tamu yang lain.

“Semoga sehat selalu, dan stay forever young,” Pavel mengangguk dengan senyuman lebar.

Enjoy.” tutup Bright lalu mulai memetik gitar.

Semua undangan reflek menggerakan kepala ketika intro terdengar,

I could stay awake just to hear you breathing

Watch you smile while you are sleeping

While you're far away and dreaming

I could spend my life in this sweet surrender

I could stay lost in this moment forever

Every moment spent with you is a moment I treasure

Don't want to close my eyes

I don't want to fall asleep 'Cause I'd miss you baby And I don't want to miss a thing

'Cause even when I dream of you

The sweetest dream will never do I'd still miss you baby

And I don't want to miss a thing

“Gila merinding gue denger suaranya,” celetuk Aj tiba-tiba.

“Kayaknya baru ini gue denger dia nyanyi.” Ujar Frank.

Tung melirik Win yang masih terdiam sejak intro terdengar,

Lying close to you, feeling your heart beating

And I'm wondering what you're dreaming

Wondering if it's me you're seeing

Then I kiss your eyes

And thank God we're together

And I just want to stay with you in this moment forever Forever and ever

I don't want to close my eyes

Bright melepas gitarnya,

I don't want to fall asleep 'Cause I'd miss you baby And I don't want to miss a thing

Lalu melepas mic dari tempatnya,

'Cause even when I dream of you

Kakinya mulai melangkah turun,

The sweetest dream will never do I'd still miss you baby And I don't want to miss a thing

I don't want to miss one smile

And I don't want to miss one kiss

Ia membawa tubuhnya melewati para tamu,

And I just want to be with you Right here with you, just like this

Lalu berhenti di depan Win,

And I just want to hold you close

Mengeluarkan sesuatu dari saku celananya,

I feel your heart so close to mine

Lalu berlutut,

And just stay here in this moment For all the rest of time

“Win Mentawin will you merry me?” Tanyanya dengan mic di hadapan seluruh tamu undangan dengan memegang cincin perak di tangan kanan

Semua orang terkejut, begitu juga Win yang tiba-tiba membeku, dirinya bahkan bisa mendengar suara degup jantungnya sendiri.

Sepersekian sekon dirinya seperti tidak berada di tubuhnya sampai Tung menyenggolnya sedikit,

“Kalo gak mau gimana?” Pong membuka mulutnya lebih lebar ketika mendengar pertanyaan Win.

“Aku coba lagi besok dan seterusnya sampai kamu mau,” balas Bright santai masih di posisi awal.

Win tidak bisa menyembunyikan senyumnya, Bright memang unik dan ajaib.

I will then,” Jawabnya lalu mengambil cincin perak dari tangan Bright. Pria yang lebih muda menghela nafas lega lalu berdiri, keduanya reflek berpelukan untuk yang pertama kali.

“Kalo aku nangis, kamu yang tanggung jawab.” Bisik Win di sela pelukan.

“Iya nanti aku puk-pukin deh,”

“Aku bukan bayi,”

Don't want to close my eyes

Don't want to fall asleep

'Cause I'd miss you baby And I don't want to miss a thing

'Cause even when I dream of you

The sweetest dream will never do I'd still miss you baby And I don't want to miss a thing

Riuh tepuk tangan mengikuti langkah si pemilik acara menuju panggung kecil yang terletak tepat di sebelah kolam ikan koi,

Test,” kata pertama Pavel setelah memegang mic,

“Selamat malam semuanya,” ia melempar senyum

First of all, saya mau mengucapkan terimakasih dengan tulus untuk semua tamu undangan yang meluangkan waktunya untuk datang ke hari dimana saya bertambah tua untuk kesekian kalinya. Untuk saya, umur itu hanya sekedar angka, as long as I always look forever young, tidak ada masalah.” Win menghela nafas, penyakit narsis Dad-nya emang gak pernah hilang.

“Dan sejujurnya saya bukan tipe yang harus merayakan hari pertambahan umur seperti ini, tapi karena pasangan saya yang mau meluangkan waktu untuk membuat ini semua jadi saya ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga untuk my one and only Dome, you are the best babe,” Pavel mengedipkan sebelah matanya ke arah Dome yang langsung disambut meriah oleh tamu yang lain.

“Bokap lu emang gak ada duanya Win,” ucap Frank sambil tertawa.

“Gue udah kebal.” Balas Win sambil menggelengkan kepala.

“Selanjutnya saya mau mengucapkan selamat datang dan terimakasih untuk kedua tamu spesial saya malam ini,” Pavel memiringkah tubuhnya ke arah kiri,

Mr. Podd Simanjuntak and Mr. Gawin Simanjuntak, welcome to our home. Terimakasih sudah mau datang jauh-jauh kesini, enjoy the party.” Kedua orang tua Bright tersenyum dan mengangguk bersamaan.

Last but not least, saya mau memberikan kado kecil untuk anak saya satu-satunya, Win Mentawin, yang akan selalu menjadi putra kesayangan papi dan daddy.” Win mengernyit bingung.

Ini siapa yang ulang tahun sih?

“Semoga suka ya nak, dan terimakasih.” Pavel meletakkan kembali mic-nya dan segera turun dari panggung diikuti tepuk tangan undangan.

Win menatap was-was ke arah Pavel yang sejak awal tersenyum tanpa lelah.

“Ada apa sih?” Tanya Win tanpa suara ke arah Papinya, dan pria itu hanya mengendikkan bahu lalu tersenyum.

“Win?” Pria yang dipanggil reflek menoleh ketika ada yang menepuk punggungnya,

“Eh om Surya.” Win menjabat tangan sosok yang ia panggil om tersebut.

“Apa kabar om?” Tanyanya basa basi,

“Puji Tuhan baik, kamu gimana? Lancar kerjaan?”

“Alhamdullilah lancar, flight jam berapa tadi om?”

“Sore dari Singapur. Ngomong-ngomong kata Pavel, kamu ada ke Singapur kapan hari, kenapa gak mampir Win?” Tanya om Surya.

“Masalah kerjaan om, gak lama juga soalnya.” Balas Win sambil terkekeh hambar di akhir.

“Main lah sekali-kali, jangan kerjaan terus kan kamu udah mapan juga.” Ucap om Surya lalu menepuk kedua lengan Win.

“Terus kapan nih nikah? Udah ada rencana?” Win menggeleng sambil tersenyum.

“Tapi kalo calon udah ada dong ya? Kalo udah ada calon jangan nunda-nunda nikah lah Win, yang penting kan kamu udah mapan. Keburu terlalu tua loh kasihan orang tua kamu nanti gak sempet nimang cucu.” Ujar pria itu.

Ini doain ortu gue cepet mati apa gimana sih?

“Doain aja om,” balas Win singkat lalu melirik ke arah Tung yang berdiri tidak jauh darinya.

“Om, Win kesana dulu ya, nanti kita ngobrol lagi.” Pamitnya sopan.

“Oh iya-iya silahkan,” dirinya secepat kilat mendekati Tung yang sejak awal memperhatikan pembicaraan mereka berdua.

“Capek ya senyum terus bos?” Bisik Tung setelah Win berdiri di sampingnya.

“Tai lu.” Tung menahan tawanya.

Hal yang paling Win hindari ketika acara keluarga adalah pertanyaan “kapan nikah?” yang dilontarkan kerabat atau teman-teman orang tuanya, belum lagi ajang perjodohan mendadak,dan Win harus melewati itu semua dengan senyuman.

Win beberapa kali melirik Bright yang berada di sebelahnya, dirinya masih penasaran kenapa Bright bisa tiba-tiba sampai rumahnya lebih dulu.

“Kok bisa?”

“Bisa apa?” Tanya Bright balik tanpa menoleh, ia masih fokus dengan jalan di depannya.

“Nyampe duluan, katanya besok pagi.”

“Jadwal gue ternyata beres lebih awal, terus Gun ngajakin pergi hari ini aja.” Jelas Bright sambil menginjak pedal rem, lampu merah.

“Bukan karena disuruh ortu gue kan?” Bright noleh,

“Kalo iya kenapa?” Balasnya dengan ekspresi serius.

“Tuh kan, udah curiga.” Yang lebih muda langsung tertawa,

“Ngga lah, mereka gak nyuruh apa-apa Awin.”

“Sukanya ngeledek.” Bahu Bright masih bergetar ketika ia kembali menginjak pedal gas.

“Mukanya lucu sih.” Balas Bright santai tanpa menoleh.

“Dih kerdus juga mulutnya” batin Win.

Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan pergi ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk keduanya.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win lalu terkekeh pelan.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Setelah itu tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay, right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.


Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan pergi ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk keduanya.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win lalu terkekeh pelan.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Setelah itu tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.


Awal Mula

Win menatap layangan yang terbang tepat di depan jendela apartemen, tangannya bergerak memutar perlahan cangkir berisi cokelat panas yang tinggal setengah.

“Jadi ini yang terakhir?” Win melirik Bright yang berdiri di sampingnya, pria itu sibuk menyesap lintingan tembakau.

“Iya, ini akan jadi yang terakhir.” Balas Bright, partner kerja Win sejak sepuluh tahun terakhir.

“Mereka akan membunuh kita jika mereka mengetahui rencana ini.”

Bright bersedekap sambil menyandarkan bahu kirinya ke dinding, matanya memperhatikan garis wajah Win dari samping.

“Kamu takut?” Tanya Bright dengan suara tenang.

“Sedikit, rasa takut itu masih bersarang walaupun sudah belasan tahun melakukannya.”

Bright menghembuskan gumpalan putih dari mulutnya.

“Jangan takut, kita lakukan ini bersama.” Pria itu mendekat, meraih tangan kiri Win yang bebas.

“Ini yang terakhir, kita akan baik-baik saja setelahnya.” Lanjut Bright sambil mengusap telapak tangan Win.

“Bagaimana kalo kita tertangkap?”

“Tidak akan, kita akan berhasil dan pergi ke ujung dunia.” Win menoleh,

“Ujung dunia?” Bright ngangguk.

“Kamu selalu ingin kesana kan? Tower of hercules, ujung dunia.”

Win mengerjap,

“Kamu serius?” Bright ngangguk,

Let's do this dan pergi ke ujung dunia.” Win menarik kedua ujung bibirnya, menara hercules adalah satu-satunya tempat yang ia ingin datangi di dunia ini.

Dirinya pernah kesana, sekali, ketika ia kecil. Mungkin usianya sekitar lima atau enam tahun saat itu, ia ingat jika kedua orang tuanya mengajak dirinya kesana untuk berlibur.

Hidupnya indah sampai saat itu, dan menjadi bencana ketika keluarga kecilnya pulang ke rumah. Win kecil menjadi saksi hidup bagaimana kedua orangtuanya meregang nyawa di depan mata kepalanya sendiri.

Sejak saat itu, Win tidak mengenal kata bahagia. Hidupnya gelap, jarang tersenyum, tidak memiliki teman, tidak pernah mendengarkan siapapun, dan terlalu sering berpindah panti asuhan karena sikap buruknya.

Hingga tepat di usianya yang ke tujuh belas tahun, seseorang mengangkatnya. Hingga detik ini ia tidak pernah tau siapa orang tersebut, yang dia ingat setelah ia keluar dari panti asuhan dirinya hidup dengan berbagai jenis manusia di pabrik narkotika.

Win menghabiskan dua tahun usianya untuk membungkus barang terlarang itu, dan setelahnya dirinya dipindahkan ke tempat yang lebih layak.

Dirinya mulai belajar menjual kokain, opium dan ganja di usia dua puluh tahun. Lagi, ia bertemu berbagai jenis manusia, mulai dari yang terlihat parlente dengan banyak bodyguard sampai yang terlihat memaksakan diri membeli barang tersebut bahkan jika tidak makan sekalipun.

Semakin hari tempat ia 'hidup' semakin berkembang, dirinya juga lebih sering bertemu orang-orang besar dan menerima uang miliaran bahkan triliunan untuk barang terlarang itu.

Win hanya perlu menukar bungkusan padat yang ia bawa dengan tumpukan uang dari para pembelinya di lokasi terbuka. Cara kerjanya terdengar mudah tapi nyawa menjadi taruhannya.

Karena pembelinya dari kalangan atas, maka ia tidak boleh salah langkah, nyawanya bertaruh di setiap transaksi yang dirinya lakukan.

Dirinya bertemu Bright tepat di usia dua puluh lima tahun, partner kerja pertamanya. Jika tugas Win bertransaksi dengan para pembeli, maka tugas Bright adalah mengawasi transaksi tersebut dari jauh.

Tugasnya hanya untuk melindungi  barang yang Win bawa dan uang yang Win terima.

Bright akan menjadi pengalihan jika posisi Win terancam, dan pria itu tidak segan-segan melepaskan peluru panas jika dibutuhkan.

Mereka bekerja dengan bersih, cepat, dan teliti.

Menukarkan tas berisi kokain dengan tas berisi lembaran uang tunai di tempat terbuka dalam hitungan menit tanpa dicurigai pihak-pihak yang mengawasi mereka cukup mudah untuk keduanya.

Okay, let's do this Bri.” Bright tersenyum setelah mendengar balasan Win.

Pria itu mencium telapak tangan Win lalu terkekeh pelan.

Sepuluh tahun hidup bersama, siapa yang tahu jika mereka diam-diam menjalin hubungan lebih dari sekedar partner kerja selama lima tahun terkahir.

Dua minggu sekali, keduanya selalu berpindah tempat tinggal. Selain karena mereka masuk daftar hitam polisi, mereka juga menghindari pihak-pihak yang diam-diam melacak keduanya.

Pilihannya selalu pemukiman kumuh, kotor bahkan tidak layak tinggal.

Tidak masalah, selama keduanya bisa menjauh dari mata-mata.

Termasuk mata-mata bos mereka sendiri.


Win menatap tumpukan paspor dan kartu identitas palsu di dalam lemarinya, dirinya cukup sering berpindah tempat bahkan berpindah negara karena pembeli barang ilegal itu berasal dari berbagai tempat.

“Hei,” pria itu terkesiap ketika seseorang memeluknya dari belakang.

“Masih ragu Win? Haruskah kita tunda rencana ini?” Win menggeleng kuat, tidak akan ada lagi kesempatan kedua jika ia melewatkan yang ini.

“Kita harus lakukan sekarang, cepat atau lambat mereka pasti tahu rencana kita Bri.” Bright ngangguk, mengeratkan pelukannya.

“Kamu masih punya waktu berpikir sampai besok.”

“Aku sudah yakin, karena kita tidak mungkin hidup seperti ini terus sampai tua.”

“Buatku tidak masalah, selama ada kamu.” Win menyikut pria di belakangnya.

Bright terkekeh, ia berusaha mengurangi ketegangan dari pria yang lebih muda.

“Ambil mana saja yang ingin kamu gunakan, bawa dua lainnya sebagai cadangan.” Ucap Bright sambil menunjuk tumpukan paspor dan kartu identitas milik mereka.

“Sisanya?”

“Kita bakar besok malam, mereka tidak akan tahu.” Win mengangguk.

Bright melepas pelukannya lalu memutar tubuh Win,

“Setelah itu tidur dan jangan pikirkan apapun, oke?” Pria yang lebih tua melepas satu kecupan kecil di dahi Win sebelum menjauh.


Bright menatap tas yang terbuka di hadapannya, sedang memikirkan apa yang ia harus masukkan ke dalam tas terlebih dulu.

Pria itu sudah merencanakan ini sejak berbulan-bulan yang lalu, tapi tetap saja ada rasa khawatir yang sekedar singgah di pikirannya.

Dirinya tidak masalah jika tertangkap, tapi ia khawatir jika Win lah yang tertangkap.

Bright terlanjur menaruh hati dan segala rasa untuk Win, ia bahkan rela mati untuk pria itu.

Terdengar menggelikan, tapi begitulah kenyataannya.

Sudah sepuluh tahun ia mengorbankan hidupnya untuk melindungi Win, dan lusa adalah puncaknya.

Ia ingin membawa pria itu bebas, sangat bebas sampai siapapun tidak bisa menangkap mereka.

Tapi bisakah?


Win sibuk memasukkan apapaun yang bisa ia masukkan ke dalam tasnya, begitupun Bright.

Keduanya sibuk mengeluarkan isi lemari dan memilah barang yang akan mereka bawa, sisanya akan mereka buang.

Bright mengeluarkan tas yang paling besar dan segera membukanya. Dengan teliti ia memasukkan satu demi satu senjata yang biasa ia bawa, dan gerakan tangannya berhenti di salah satu revolver kesayangannya.

“Win,” pria yang dipanggil menoleh,

“Ya?”

“Tangkap ini,” dengan sigap Win menangkap barang yang di lempar Bright.

“Untuk apa? Aku bahkan tidak bisa menembak.” Ucap Win sambil menunjukkan revolver di tangannya.

“Bawa aja, kamu bisa menggunakannya ketika diperlukan.”

Are you sure Bri? Aku gak perlu ini karena ada kamu.”

“Kita gak bisa menebak situasi besok Win, jadi bawa aja.” Win menghela nafas lalu mengangguk, ia memasukkan revolver kesayangan Bright ke dalam tasnya.


Keduanya sekarang sedang berada di area belakang gedung apartemen kumuh tempat dimana mereka tinggal.

Bright berhasil menyalakan api di tengah malam yang cukup berangin, Win mendekat dengan satu kotak penuh berisi barang-barang yang akan mereka bakar.

Mereka tidak boleh meninggalkan jejak apapun, itu aturannya.

Win mulai melempar satu demi satu paspor palsu dari dalam kotak, diikuti Bright yang ikut melempar kemeja dengan bercak darah miliknya ke dalam api.

Keduanya tidak berniat membuka pembicaraan, seperti tenggelam dalam pikiran masing-masing.

Barang terakhir yang Bright lempar adalah buku berisi berbagai catatan kecil yang tidak bisa ia simpan lagi. Pria itu merangkul bahu Win sambil menatap barang-barang mereka yang mulai habis terbakar.

It's gonna be okay right?” Tanya Win lebih ke pada dirinya sendiri.

Yes, it's gonna be okay.” Balas Bright seperti meyakinkan dirinya sendiri.