Dearyou_today

Sudah semingguan Apo menemani ibunya di rumah terhitung dari hari dimana ibunya mengalami kecelakaan.

Sang ibu tentu sangat senang melihat eksistensi anak sulungnya di rumah, hanya saja dirinya khawatir melihat Apo terkadang telihat murung dan melamun seorang diri.

“Kakak,” Apo yang sedang memberi makan kucing liarpun menoleh,

“Kenapa bu? Perlu diambilin apa?” Dengan sigap ia segera berdiri, siap membantu ibunya.

Perempuan paruh baya itu menggeleng, dirinya ikut duduk di depan rumah.

“Kamu duduk dulu sini.” Ibunya menepuk kursi kayu di depannya yang langsung dituruti Apo.

“Ibu mau tanya, kamu itu cuti sampai kapan kak?” Apo reflek meremat kaosnya, ia sudah bisa menebak cepat atau lambat ibunya pasti akan bertanya. Apalagi Apo terlihat tidak menyentuh kerjaannya sama sekali selama di rumah.

Gelagat panik Apo pun tertangkap iris ibunya, perempuan paruh baya itupun segera mengelus sayang rambut Apo.

“Kakak, ibu gak suka loh ya kalau anak-anak ibu ada yang main rahasiaan di belakang ibu. Karena dari kecil, ibu sudah mengajarkan kakak dan adek untuk terbuka sama ibu. Jadi kak, kalau kamu lagi ada masalah, ibu sangat senang jika bisa diajak diskusi.” Akhirnya pecah juga tangis Apo, pria yang selalu terlihat kuat di depan ibu dan adeknya pun punya sisi lemah yang selalu berusaha ia tutupi.

Dengan cepat Apo menyembunyikan tangisnya di balik pelukan sang ibu.

“Kakak.” Perempun paruh baya itu tidak menyangka Apo akan langsung menangis, anak sulungnya itu banyak menanggung beban.

“Ma- maafin kakak ya bu,” elusannya kali ini bergerak ke punggung Apo.

“Harusnya ibu yang minta maaf kak, kakak hebat sudah jadi tulang punggung keluarga kita, maaf ya kak kalau selama ini kakak menanggung banyak beban, pasti capek ya kak?” Apo menggeleng, bekerja memang sangat melelahkan, namun ia senang bisa bekerja untuk keluarganya.

“Kakak itu hebat, sangat hebat, ibu dan adek sangat-sangat bangga sama kakak. Kakak merantau buat keluarga, kakak sudah melakukan banyak hal untuk kita, terima kasih ya kak.” Isak tangis Apo semakin terdengar,

ulu hatinya seperti ditekan kuat.

“Maafin kakak bu.”

“Kamu kenapa minta maaf terus kak? Kamu gak salah sayang,”

Apo mengangkat wajahnya yang sudah penuh air mata. Jemari ibunya mengusap air mata Apo yang masih terus menetes keluar.

Sebagai seorang ibu, hatinya merasa sakit melihat anaknya menangis seperti ini.

“Kakak minta maaf bu,” manik teduhnya menatap Apo yang terus meminta maaf.

“Kenapa minta maaf kak? Hm?” Tanyanya hangat sambil menyugar rambut Apo yang poninya sudah lumayan panjang.

“Kakak harus resign dari kantor yang sekarang, kakak gak becus ya bu?” Hatinya tercubit, si sulung terlihat rapuh sekali.

“Kata siapa kakak gak becus? Kan ibu sudah bilang, kakak itu hebat, sangat hebat, sangat membanggakan.” Kali ini ibunya mengelus wajah Apo lembut.

“Kakak dengarin ibu ya, namanya hidup memang selalu ada aja ujiannya, termasuk pekerjaan kakak ini juga ujian hidup. Gagal dalam ujian bukan berarti tidak becus kak, ada banyak faktor. Untuk masalah kakak, ibu lah faktor utamanya, ibu ikut andil dalam masalah kakak ini, maaf ya sayang.” Apo menggeleng, ia tidak ingin ibunya merasa bersalah.

“Sekarang semuanya tergantung kakak, kak Apo yang ganteng ini mau terus maju dan mencari jalan untuk menghadapi ujian atau lari dari ujian yang pasti akan selalu ada terus.”

“Yang jelas kak, ibu tidak masalah kalau kakak memang akhirnya mau disini aja, toh, ibu senang bisa lihat kakak setiap hari. Tapi, jika kakak akhirnya mendapat jawaban atas ujian kakak sekarang, ibu juga ikhlas kalau harus ditinggal lagi.”

“Tangan ibu bagaimana?” Ibunya tersenyum,

“Kak, ibu masih punya tangan kanan kan, lagian tangan kiri ini cuma retak, nanti kalau ada apa-apa ibu janji akan minta tolong tetangga atau nak Mario.”

“Janji ya bu.”

“Iyaaa kakak sayang.” Keduanya saling berpelukan, bebannya seperti terangkat.

Bagaimanapun juga tujuan hidup Apo memang untuk keluarganya. Apapun itu, tidak semestinya ia mudah menyerah.

©dearyoutoday

Setelah meminta bantuan New, sekretaris pribadi Tawan, Apo segera mengetikkan pesan untuk bos-nya mengenai dirinya yang tidak bisa hadir di RUPS besok pagi.

Layar ponselnya menggelap setelah ia selesai mengirimkan pesan ke Mile, baterainya habis.

Pria itu tidak sempat membawa apapun selain dompet dan ponselnya, karena ia sengaja meninggalkan ransel di kantor dengan tujuan memudahkannya untuk mengatur dokumen besok pagi, namun ternyata semesta berkata lain.

Untungnya sang adek sudah memberitahu mengenai informasi seputar rumah sakit dimana tempat ibunya dibawa setelah kecelakaan.

Ia menghela nafas, sisanya ia akan pikirkan lagi nanti.


Apo melangkah tergesa menuju IGD di salah satu rumah sakit, tempat dimana ibunya dibawa. Dengan buru-buru ia membuka pintu ruang gawat darurat lalu segera menuju meja informasi.

“Selamat malam pak, ada yang bisa dibantu?” Tanya seorang perawat dengan sopan.

“Malam, saya wali dari ibu Vera Paramitha, boleh tau posisi ibu saya dimana sekarang?” Perawat itu mengangguk, lalu membuka buku besar di hadapnnya.

“Tunggu sebentar pak biar saya cek.”

“Ibu Vera Paramitha sudah dibawa ke ruang anggrek nomor lima ya pak.” Apo mengernyit,

“Kondisinya bagaimana ya sus? Kenapa sampai perlu rawat inap?”

“Karena dokter curiga ada kemungkinan retak atau patah tulang, jadi disarankan untuk rontgen besok pak, selain itu kondisi ibu Vera lemas ketika datang, jadi sedang di infus.”

Perasaan Apo campur aduk setelah mendengar penjelasan perawat di hadapannya, setelahnya ia mengucapkan terimakasih dan segera menuju ruangan yang dimaksud.


Kedua orang di dalam ruangan menoleh kaget ketika melihat pintu terbuka, sedangkan Apo menghela nafas lega setelah melihat kondisi ibunya.

“Kakak kesini juga? Kok adek gak bilang?” Sang ibu terkejut atas kedatangan anak sulungnya.

Apo mendekat ke arah ibunya yang terbaring cukup lemas, lalu mengecup kedua pipi ibunya.

“Ibu lagi sakit kenapa bawa motor?” Tanya Apo setelah memastikan kondisi ibunya.

“Ibu tadinya mau beli obat, tapi ternyata malah langsung ke rumah sakit.” Balas ibunya dengan nada bercanda, perempuan paruh baya itu mencoba menenangkan anak sulungnya yang terlihat kacau.

“Kakak, ibu baik-baik saja, gak perlu panik ya. Ibu minta maaf kalau kurang hati-hari, minta maaf juga kalau naik motor dalam keadaan sakit, tapi kakak gak usah panik ya sayang.” Sang ibu mengelus kepala Apo dengan tangan yang masih tertusuk jarum infus.

“Ibu jangan diulang lagi ya, kalau sakit sekali bisa minta tolong tetangga, atau bisa minta tolong bang Mario kan?” Ibu mengangguk, lalu kembali mengusap kepala anaknya.

“Terus yang katanya dicurigai retak atau patah mana?” Natasit, sang adek menunjuk tangan kiri ibunya.

“Ini kak, cuma belum tau pastinya, besok harus rontgen.” Apo mengangguk,

“Berarti perlu urus administrasi?”

“Tadi udah aku urus kak, biar ibu dapat kamar, jadi udah beres.” Apo kembali mengangguk,

“Kak Po udah makan? Tadi aku nanya lewat chat tapi gak dibalas, mau aku beliin makan sekalian tadinya.”

Ah iya, ponselnya mati.

“Iya handphone kakak habis baterai, nanti kakak beli sendiri aja.”

“Kamu dari kantor langsung kesini kak?” Tanya ibunya yang baru menyadari pakaian Apo terlalu rapi untuk sekedar datang ke rumah sakit.

Apo terkekeh,

“Iya bu, tadi buru-buru banget,”

“Astaga kak, mau mandi disini? Itu adek bawa baju ganti kan.” Nata mengangguk, walaupun badannya terlihat lebih kecil dari sang kakak, tapi ukuran baju mereka tidak jauh berbeda dikarenakan tubuh kakaknya yang ramping.

“Iya nanti kakak mandi, ibu istirahat aja.” Perempuan paruh baya itu tersenyum hangat, walaupun kondisinya sakit, ia sangat senang bisa melihat kedua putranya saat ini.

“Kakak, jangan terlalu capek ya, adek juga, kewajiban memang harus dijalani tapi hidup juga harus dinikmati, okay?” Kedua adek kakak itu mengangguk, diam-diam mereka juga merindukan hangatnya sang ibu.

©dearyoutoday

 CW// barebacking, anal sex, nipple play, overstimulation, pissing, handjob, blowjob, etc

Hampir sepuluh menit sejak pertama kali Noah mendudukan dirinya di sofa kamar hotel yang Victor pesan untuk mereka. Ia hanya bisa menatap lantai dengan gelisah, sedangkan Victor hanya memandang tanpa mengeluarkan sepatah katapun dari single sofa di hadapannya.

Ia sangat terkejut ketika menerima data diri orang yang berhasil memenangkan lelangan atas dirinya, rasanya Noah ingin sekali membatalkan lelangan saat itu juga, namun darimana lagi ia bisa mendapatkan uang sebesar itu dalam waktu singkat?

Victor Regar, ia bahkan masih ingat betapa kagetnya dia ketika membaca nama tersebut, jantungnya seperti merosot ke lantai. Setelah hampir dua tahun menjauh dari pria tersebut, takdir seperti membawanya kembali, namun dengan cara yang salah.

Ada banyak hal yang ingin Noah katakan, tapi ia sadar, Victor tidak akan peduli, lagipula dirinya yang memulai semua ini.

Noah bisa mendengar helaan nafas Victor, ia masih terlalu takut untuk mengangkat kapalanya.

“Did I paid you a lot of money, just to see you stay still like this, Noah?” Tubuh Noah menegang, ia bisa mendengar nada dingin dari pertanyaan sarkas yang dilontarkan Victor.

“Take off your clothes!” Noah mengangkat kepalanya, akhirnya ia bisa melihat wajah Victor, pria yang terang-terangan menaruh hati untuknya, namun ia tolak tanpa alasan.

Ekspresi itu, ekspresi yang belum pernah Noah lihat sebelumnya, karena Victor selalu tersenyum hangat kepadanya.

Tapi itu dulu, sebelum ia meninggalkan Victor begitu saja, meninggalkan tanda tanya besar untuknya.

“Are you a deaf? Or you just want to playing around here?” Tatapan menusuk Victor membuat tangannya bergerak pelan ke arah kancing kemejanya.

Dengan tangan gemetar, Noah menanggalkan satu per satu kancing kemeja biru mudanya.

Satu kancing terbuka, tergores pula egonya.

Dua kancing terbuka, denyut sakit terasa di dadanya.

Tiga kancing terbuka, ia hampir menangis.

Dan dengan bersusah payah, Noah berhasil menelanjangi bagian atas tubuhnya.

Victor masih diam, belum ingin membuka suara lagi, namun Noah bisa melihat obsidian berkabut nafsu milik pria di hadapannya itu.

Jemarinya meraih gesper, ia menghela nafas sebelum akhirnya menarik keluar gesper dari tempatnya.

Tangannya semakin terasa basah ketika meraih kaitan celana panjangnya, ia merasa takut.

Noah menelan ludahnya susah payah, lalu melepas turun celana panjangnya melewati kaki kecilnya.

Sekarang hanya tersisa celana dalam putih yang menutupi bagian selatannya.

Sangat kontras dengan kulit eksotisnya.

Kedua iris mereka bertemu, Noah ingin memohon, sangat ingin, namun ekspresi dingin seperti mengunci seluruh pergerakannya.

“Stop it there!” Ucap Victor ketika kedua ibu jarinya hampir menyentuh karet celana dalamnya.

“Stand up!” Perintahnya lagi, sambil menggerakkan telunjuknya, meminta Noah berdiri.

Degupan jantung Noah semakin kencang, ia bahkan seperti bisa mendengar suara degupannya.

Dengan takut-takut, Noah berdiri dari duduknya. Telapak tangannya berusaha menutupi bagian selatan tubuhnya.

“Apa yang coba lo tutupi, Noah?” Satu pertanyaan sederhana, tapi sukses menyingkirkan tangan Noah.

Noah berdiri dengan kikuk, telihat aneh baginya hanya mengenakkan celana dalam putih dan sepasang kaos kaki putih.

“Look at me!” Reflek Noah mengangkat wajahnya, iris mereka kembali bertemu.

Demi Tuhan, Noah bisa melihat Victor yang menjilat ujung bibirnya, pria itu tidak ingin repot-repot menyembunyikan hasratnya.

“Berbalik.” Noah bergeming, ia seperti tidak menangkap perintah Victor, terlalu sibuk bertarung dalam pikirannya sendiri.

“Do you hear me? Berbalik!” Tubuhnya tersentak, ia segera membalik tubuhnya, menghadap dinding kamar hotel yang baru ia sadari sangat amat mewah.

“Now, put your left knee on that couch.”

Hah? Apa? Perintah macam apa ini.

Walaupun batinnya menolak, ia tetap melakukan perintah Victor. Pria itu nenumpukkan kedua tangannya pada kepala sofa, dan mengangkat kaki kirinya, lututnya ikut bertumpu disana.

Noah menyadari, posisinya membuat pantatnya meninggi ke arah Victor. Pria itu bahkan tidak tau apakah ia masih memiliki harga diri atau semuanya telah hancur sejak pertama kali ia menginjakkan kaki di kamar hotel ini.

Lima menit terlewati dengan Noah yang bertahan di posisi itu, entah apa tujuannya, namun Victor  sudah menyuruhnya kembali ke posisi awal.

“Come here!” Entah mengapa gerakan telunjuk Victor seperti menghipnotisnya, ia melangkah semakin dekat dengan yang lebih tua.

“Kneel down!” Satu gerakan telunjuk, dan Noah sukses berlutut di hadapannya.

“Take this off and suck my dick!” Noah linglung, perintah Victor jelas ditujukkan untuknya, dan otaknya menolak itu.

Dengan takut-takut Noah mengangkat kepalanya, berusaha melihat wajah Victor. Tatapan itu masih sama, tatapan dingin menusuk dan merendahkan sangat jelas tergambar disana.

Haruskah ia memohon sekarang? Setidaknya meminta maaf terlebih dulu? Apakah sudah terlambat sekarang?

Begitu banyak pertanyaan berputar di kepalanya sampai tiba-tiba ia merasakan tamparan kecil di pipinya.

Victor mencengkram dagunya, wajah mereka kini hanya berjarak beberapa senti.

“Lo udah lelang tubuh lo itu kayak pelacur lain, so, act like one.” Bisiknya tepat di depan wajah Noah.

Hatinya mencelos, perkataan Victor melukai perasaanya.

“You’re an expensive slut that I ever bought, so, don’t be the worst one, Noah.”

Betapa hancur hati Noah setelahnya, ia salah menganggap Victor masih akan berlaku baik, seharusnya ia sadar, Victor yang dulu sangat hangat sudah hilang.

“Suck it now!” Bentak Victor yang langsung direspon Noah. Kedua tangannya meraih gasper Victor dan membukanya dengan terburu-buru.

Tidak perlu waktu lama sampai Noah berhasil menanggalkan kain yang menutup bagian bawah Victor.

Ia termangu setelah melihat batang kejantanan Victor yang sudah terbebas, matanya membola setelah menyadari ukuran penis Victor.

Apa mungkin ukurannya dua kali ukuran miliknya? Atau tiga kali? Apa wajar memiliki penis berukuran besar seperti itu?

Lagi, isi kepalanya kembali meributkan banyak hal.

Dengan gemetar Noah mengarahkan kedua tangannya ke batang kejantanan Victor, ia bisa merasakan kedutan disana.

“I- I don’t think it would fit in my mouth, Victor.” Ucap Noah takut, baru memegangnya saja ia sudah tau itu tidak akan muat.

“That’s not my problem, gue bayar lo, so do your job!”

Noah tersentak, kalimat Victor terus menyakiti hatinya.

Dengan perlahan ia mengurut penis Victor, bahkan tangannya saja tidak bisa menggenggam secara keseluruhan, ukurannya tidak normal, menurut Noah.

Ia dekatkan wajahnya ke arah batang kejantanan Victor lalu mulai menjilatnya.

“Good, lick it properly and don’t bite my dick.” Ucap Victor lalu meremas rambut Noah.

Noah bawa lidahnya sepanjang batang kejantanan Victor lalu kembali turun. Ia bisa mendegar suara desahan tertahan Victor.

“Open your mouth.” Noah membuka mulutnya semakin lebar, ia bahkan bisa merasakan nyeri di sudut bibirnya.

Victor menjambak rambut Noah dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya bergerak mengarahkan penisnya ke depan mulut Noah yang sudah terbuka lebar.

Dan dengan satu dorongan kasar, mulut Noah sudah tersumpal penis besar Victor.

“FUCK!” Victor menyukainya, mulut Noah memang cocok dengan penisnya.

Sedangkan Noah hanya bisa terbatuk, ia tidak siap dengan gerakan mendadak itu.

Victor kembali menarik rambut Noah, lalu mendorongnya lebih kasar.

Ujung penis Victor bahkan melewati pintu tenggorokannya, Noah nyaris muntah.

Gerakan kasar Victor membuatnya bertumpu pada kedua paha sang dominan. Ia hanya bisa memejamkan mata setiap kali Victor mendorong penisnya kasar, bahkan ia bisa merasakan liurnya total membasahi dagu hingga turun ke dadanya.

Noah bisa merasakan dengan jelas ketika batang keras itu keluar-masuk mulutnya diikuti geraman rendah Victor.

Ia total pasrah, dirinya sudah tidak peduli dengan apapun yang akan ia hadapi.

“Do you know that you have amazing mouth, Noah? Hm?” Tanya Victor lalu kembali menekan kepala Noah, kali ini ia sengaja menekan semakin dalam membuat Noah meronta dan menepuk kedua paha Victor panik.

Noah kacau, ia terbatuk hebat setelah berhasil melepas penis Victor dari mulutnya.

Victor bisa melihat saliva yang membasahi bibir Noah.

“Sexy slut.” Ucapnya lalu mengusap bibir Noah dengan ibu jari lalu membukanya kembali.

“Suck it again!”

Noah menatap Victor tidak percaya, ternyata belum selesai.

Yang lebih tua membawa kepala Noah mendekat ke arah penisnya, lalu kembali menghujam penis itu ke dalam mulut Noah.

Noah terus mengulum penis Victor tanpa ampun.

Tangan kirinya bergerak ke arah puting Noah yang entah sejak kapan sudah menegang.

“Ughhh!” Noah reflek memundurkan dadanya ketika Victor menarik putingnya dengan tiba-tiba.

Jemari Victor terus mengerjai area putingnya sedangkan Noah hanya bisa pasrah dengan mulut yang terus bergerak naik-turun di batang kejantanan pria itu.

“Unghh.”

Noah pening, mulutnya sudah pegal, dan kali ini putingnya mulai ngilu.

“Fucckkk!” Victor menarik kepala Noah menjauh dari penisnya.

Ia bisa melihat benang saliva terjalin antara mulut Noah dan penisnya.

“Take that off.” Telunjuk Victor mengarah ke satu-satunya kain yang menutupi kejantan Noah.

Noah panik, ia harus melepas celana dalamnya.

“Gue gak mau nunggu, Noah.” Suara dingin Victor membuat Noah semakin panik, dengan cepat ia menanggalkan celana dalamnya, menyisakan sepasang kaos kaki yang membungkus kakinya.

Noah bisa melihat seringai di wajah Victor, ia tidak tau harus seperti apa. Victor sudah melihat seluruh tubuhnya, ia total telanjang di depan pria itu.

Victor mengarahkan maniknya ke batang kejantanan Noah yang setengah menegang lalu mendengus, ternyata pria itu terpancing juga.

Tangannya menarik lepas atasannya, keduanya sudah sama-sama bertelanjang.

“Duduk sini!” Satu tepukan di pahanya cukup membuat Noah mengerti dan segera membawa tubuhnya ke pangkuan Victor.

Ia tersentak kecil ketika merasakan penis Victor menyentuh belahan pantatnya.

Posisi Noah yang lebih tinggi membuat Victor tepat berhadapan dengan dada si submisif. Dan tanpa aba-aba ia mulai mengigit puting Noah.

Noah tentu saja terkejut bukan main, ia reflek meremas bahu Victor, dan bisa merasakan penisnya bergesekan dengan perut berotot milik sang dominan.

“Umhhh—.” Satu desahan tertahan dari Noah. Victor mengigit putingnya seolah ia akan mengunyah dadanya. Sedangkan puting satunya terus dipilin dan ditarik.

Serangan di kedua dadanya mulai menarik nafsunya, Noah pusing.

“Akh!” Victor menarik gemas puting kirinya, rasanya ngilu luar biasa.

Noah hanya bisa meremas bahu Victor untuk melampiskan rasa ngilu sekaligus geli yang ia rasakan di kedua putingnya.

Melihat Noah yang mulai terbawa suasana, Victor mengambil kesempatan untuk mengarahkan penisnya ke arah lubang Noah, dan Noah langsung menyadari hal itu. Pria itu mulai panik ketika kedua tangan Victor membuka belahan pantatnya dengan mulut yang masih sibuk menghisap dan mengigit putingnya.

Noah menggeleng ribut, ia tidak siap menerima penis besar Victor, dirinya takut bukan main.

Dan Victor? Tentu saja pria itu tidak peduli. Tangan kirinya mulai mengarahkan ujung phallus-nya di bukaan anal Noah.

“Tolong pelan-pelan Vic, gue mohon.” Suara Noah terdengar bergetar, jelas sekali ia takut.

“Don’t forget, I paid you. All of this not free, Noah.” Dan tanpa belas kasih, phallus-nya menghujam lubang anal Noah begitu saja.

Noah tentu memekik kaget bercampur sakit, bagaimanapun juga ukuran kejantanan Victor ditas rata-rata, dan memasukkannya sekaligus sama saja menyiksa dirinya.

Dirinya reflek mengetatkan lubang analnya,

“Don’t do that.” Teguran Victor membuatnya ciut, dengan susah payah ia berusa lebih tenang ketika batang kejantanan Victor bergerak semakin masuk.

Tubuhnya mengejang dan bergetar secara bersamaan, rasanya seperti disobek paksa. Ia hanya bisa membuka mulutnya dengan suara yang tercekat, putus-putus.

Walaupun begitu, Victor bisa merasakan ujung penis Noah yang semakin basah oleh precum, ia berdecih.

“Tolol.” Ucapnya lalu meraih pinggang Noah.

Tanpa menunggu Noah yang masih mencoba menerima kejantanan Victor di dalam tubuhnya, pria itu langsung mengangkat tubuh Noah dan kembali membantingnya kebawah.

“AKHHH—!” Tubuhnya bergetar lagi, semakin sakit.

“You will love it, Noah.” Ucap Victor dan kembali melakukan hal yang sama, lagi dan lagi.

Noah hanya bisa meringis dan mendesah, ia tidak bohong dengan sakit yang ia rasakan di analnya.

Sedangkan Victor semakin gencar mencari kenikmatannya, gerakannya semakin kasar.

Noah yang masih berusaha beradaptasi kembali memekik ketika secara tiba-tiba Victor berdiri sambil menggendong tubuhnya, reflek ia lingkarkan kedua kakinya di pinggang sang dominan.

Gerakan itu tentu membuat penis Victor menghujam semakin dalam.

Victor membawanya ke arah cermin besar yang terletak di ujung ruangan, lalu menurunkan tubuh Noah disana.

Ia mengeluarkan penisnya, yang direspon ringisan dari yang lebih muda, lalu membalik tubuh Noah yang berhadapan langsung dengan cermin.

Iris Noah melebar setelah melihat pantulan dirinya dan Victor yang total telanjang, seketika rasa malu berkumpul di wajahnya.

Ia tidak sanggup melihat pantulan tubuhnya.

“Jangan nunduk! Look at that mirror, you need to see a slut that I paid for.” Bisik Victor.

“And it’s you, Noah, you are that slut.” Lanjutnya lalu kembali menghujam anal Noah.

“AKHHH—!” Noah bisa melihat bagaimana eskpresi kesakitan di wajahnya dan ia bisa melihat seringai Victor di belakangnya.

Bisa melihat wajah penuh nafsu itu.

Victor menarik kedua tangan Noah kebelakang, membuat tubuhnya semakin condong ke arah cermin.

“Jangan berani-berani menunduk.” Tentu saja ancaman tersebut diterima Noah, ia terus menatap pantulan tubuh telanjangnya yang bergerak mengikuti hentakan Victor.

Ia juga bisa melihat precum miliknya yang mulai menetes ke lantai.

“See? You love it, your dick love it.” Bisik Victor lagi dan Noah hanya bisa mendesah, kesakitannya perlahan berubah menjadi rasa nikmat yang susah dijelaskan.

Dirinya bahkan bisa melihat ekspresi kesakitan yang perlahan menjadi binal di pantulan cermin, ia mulai menyukai pantulan telanjang dirinya.

Irisnya memperhatikan penis tegangnya yang ikut bergoyang, dengan precum yang menetes di ujungnya.

Sungguh luar biasa, ia mulai gila.

Tangan kiri Victor meraih puting Noah lalu menariknya kasar,

“Anghhh.” Oh, Noah mau lagi.

Jemari Victor terus mencubit dan menarik puting Noah, sedangkan pinggulnya terus menghentak kasar tanpa ampun.

Garukan di putingnya menarik nafsu Noah semakin tinggi, ia ingin ujung kuku Victor terus melakukannya.

Noah hanya bisa mendesah dengan pandangan yang terus tertuju ke arah cermin, bahkan kini pandangannya buram akibat air mata menumpuk, dan yang bisa dirinya lihat sekarang cuma bayangan penisnya di cermin yang terus mengayun bebas.

Noah merasakan gelombang pelepasan yang hampir datang, telinganya berdengung panjang dan pahanya semakin bergetar dan terbuka lebar.

“Gue selalu penasaran, kenapa lo tiba-tiba jauhin gue tanpa sebab, hmhh.” Bisik Victor di belakangnya dengan pinggul yang semakin kuat menghentak.

“And I've got the answer. Because you chose this way over me, thank God, I’m rich, rich!”

“NGGHHH—“ Noah bergelinjang ketika Victor dengan sengaja menghentaknya lebih kuat.

“Viccchh, akhh.” Noah hampir sampai, perutnya mulai menegang.

Victor mendapat sinyal pelepasan Noah, tangannya semakin memilin kasar puting Noah.

“VIC— VICTORRRR! AAAAAKHHH!” Seketika rasa pening, nyeri, dan lega berkumpul dan bercampur jadi satu menyerang Noah telak.

Noah sampai, tanpa disentuh.

Tubuhnya mengejang sesaat lalu bergetar setelah seluruh cairannya tumpah.

Victor bisa melihat cairan Noah yang menghambur dari penisnya, membasahi lantai dan cermin di hadapan mereka.

Kaki Noah melemah, untungnya Victor sigap menahan tubuh lemas Noah.

Sang submisif berusaha mengais oksigen sedangkan Victor menyeringai di belakang, pinggulnya masih terus bergerak, tidak membiarkan Noah beritirahat barang sedikitpun.

“Tu-tunggu Vic, sebentarrrh.”

Oh tidak, gelombang itu datang lagi, bahkan Noah masih susah bernafas.

“VICCCC— AKHHHH! AKHHHHH!” Tubuhnya bergetar lagi, penisnya ngilu luar biasa.

Kepalanya mendongak dengan mata yang total memutih.

Sekali lagi ia keluar, semua karena Victor yang terus menyerangnya.

“Haaa, you should see your slut face here.” Victor meraih dagu Noah lalu mengarahkannya ke depan cermin.

Noah yang masih diambang kesadaran bisa melihat pantulan dirinya yang kacau, dengan wajah binal luar biasa.

Ia bisa melihat mulutnya yang terbuka berusaha mencari oksigen dengan mata sayu.

Victor mengubah posisi Noah menjadi bertumpu pada cermin, dan Noah berusaha berdiri dengan tenaga seadanya.

Tangannya meraih kedua pinggul Noah lalu kembali menghentaknya kuat,

“Ngggh—“ Noah bisa merasakan penis Victor terasa membesar di analnya.

Pria itu hampir sampai.

“AKHHHH!” Noah terpekik, ia bisa merasakan ibu jari Victor menyelip di lubang analnya, ia merasa lubangnya dipaksa terbuka lebih lebar.

“SHIT!” Victor memejamkan matanya, ia semakin cepat menggerakan pinggulnya, pelepasannya semakin dekat.

“I- I am sorry Vic, I am sor- nggh.” Victor reflek membuka matanya, ia bisa melihat pantulan wajah Noah yang sudah basah oleh air mata.

“I am sorry.” Ucap Noah lagi, ia berusaha untuk tidak menangis, tapi entah mengapa rasanya sakit sekali, dadanya sakit sekali.

“Sorry for what?” Gerakan Victor memelan,

“Gue gak maksud ninggalin lo, gue terpaksa, gue—“ Victor kembali menghentak Noah.

“How dare you to explain everything now? Gue nggak butuh!”

Noah semakin kacau, perasaannya campur aduk entah mana yang lebih mendominasi otaknya.

Victor meraih rambut belakang Noah lalu menjambaknya kuat.

“Hmmhh.” Geraman rendahnya terdengar semakin mendominasi.

“FUCK YOU NOAAAH!” Hentakan terakhir Victor sebelum pria itu menumpahkan seluruh cairannya di dalam anal Noah.

Pria itu sengaja menghentak sangat dalam, membuat tubuh Noah mengejang dan bergetar hebat.

“AKHHHH!” Dan Noah kembali sampai, kali ini diikuti air seni yang sukses membasahi cermin, lantai, dan kaki mereka.

Victor melepas tubuh Noah setelah pelepasannya selesai, dan tentu saja Noah langsung jatuh di atas lantai yang basah.

Pria itu bahkan sudah setengah sadar dengan anal yang terisi penuh dan ngilu luar biasa.

“Damn!”

***

Noah menggeliat, matanya dengan perlahan terbuka.

Ia menyipit setelah melihat sedikit cahaya dari balik bahu di hadapannya.

Huh? Bahu? Bahu siapa?

Dan sedetik kemudian pria itu sadar,

“Oh fuck.” Ia segera menutup mulutnya, ia hanya reflek mengumpat.

“Do you want me to fuck you now?” Irisnya melebar, itu suara serak Victor.

Noah baru sadar posisi tidurnya sekarang, tepat di dalam pelukan Victor.

Ia bahkan bisa merasakan tangan Victor melingkar di pinggangnya.

“Vic?”

“What?”

Noah mendongak, mengintip Victor yang masih terpejam.

“I am sorry Vic, gue minta maaf.” Victor menghela nafas dan Noah mulai takut.

Victor bergerak, semakin memeluk Noah dalam dekapnya, bahkan wajah Noah sudah menempel dengan dada telanjangnya.

Uh jujur saja Noah suka wangi tubuh Victor.

“Gue masih ngantuk, nanti aja minta maafnya.” Seluruh perasaan sakit Noah luruh sudah.

Victor kembali, suara yang menengkan itu kembali.

Walaupun ia tidak tau bagaimana akhirnya, tapi ia berharao Victor akan mengerti posisinya.

Ya, semoga saja.

ENAM BULAN KEMUDIAN

Congrats sayang, Mama ikutan bangga atas tercapainya mimpi kamu.” Alesha memeluk Natta lalu memberikan buket bunga.

“Terimakasih Ma udah jauh-jauh datang kesini.” Balas Natta senang.

“Harus dong, kan merayakan keberhasilan anak Mama.” Keduanya terkekeh.

“Mama naik dulu ya, katanya Bunda kamu diatas.” Natta mengangguk lalu mengantar Mamanya ke tangga.

“Wihh, selamat Nat, akhirnya resmi dibuka juga kafenya.” Itu Johan dan beberapa teman-temannya,

“Ini juga atas bantuan lo ya, hampir gue tinggal nih kafe.” keduanya tertawa lalu saling berpelukan.

“Katanya lo suka warna oranye kan, nih gue bawain buket bunga cerah buat lo.” Natta terkejut dengan ucapan Johan.

Thanks Jo,” Natta menerima buket itu lalu meminta Johan dan yang lain untuk menikmati makanan dan minuman disana.

“Permisi, ada yang namanya Tuan Natta Afalla?” Natta reflek menoleh ke arah pintu masuk.

“Nat, ada yang nyari lo nih,” panggil Bumi.

“Iya, saya sendiri Pak, kenapa ya?”

“Ada kiriman untuk Tuan Natta, boleh diterima sekalian tanda tangan disini?” Natta menerima satu paper bag berukuran sedang lalu membubuhkan tanda tangan di kertas yang dibawa kurir.

“Terimakasih Pak,” Kurir itu mengangguk lalu meninggalkan kafe Natta.

“Dari siapa Nat?” Tanya Bumi setelah membantu temannya itu untuk menyajikan makanan dan minuman.

“Gak tau, sebentar gue cek dulu.” Natta membawa paper bag itu ke arah meja kasir sambil menyapa teman-temannya yang meramaikan pembukaan kafenya.

Ia mengernyit setelah membuka paper bag dan menemukan tanaman hias disana, ia mengangkat pot kecil itu dan seketika irisnya melebar, itu Marigold, salah satu bunga kesukaannya.

Ia meletakkan pot bunga itu lalu meraih amplop kecil yang berada dibawah pot,

Congratulations for your dream cafe Natta Afalla, I know you can do it. Semoga setelah ini semakin bahagia dan semoga banyak keberuntungan yang mengikutimu lewat bunga Marigold itu :) I’ll always support you from here! Keep shining and shining everyday, good luck! – Milesky

Natta tersenyum, pesan kedua dari Mile setelah hampir setahun tidak bertemu. Ia melipat kembali kartu ucapan itu lalu menyimpannya di saku celana. Tangannya meraih pot bunga Marigold lalu kembali meletakkannya dengan rapi di samping name plate yang terukir nama kafenya,

fys,

dibaca ef-way-es atau kalau kata Mile, bisa jadi ef-ye-es

singkatan dari,

find your SKY

“Is the moon still in love with the sun?”

END

©dearyoutoday

“The moon only glows when kissed by the sun” – R.Queen

“He was sunshine, I was midnight rain.” – Mile

It’s time to go, Mile.” Mile tersadar dari lamunanya.

Yeah, it’s time to go.” Mile menatap lamat cangkir kopi yang isinya sisa setengah sebelum akhirnya berdiri dan mengambil koper yang sejak awal ia biarkan di ujung sofa.


“The moon knows that they are in love”

“At least we’re under the same sky.”– Natta

Sosok pria di sudut kereta memperhatikan setiap pohon yang ia lewati silih berganti, irisnya terlihat kosong dan hampa. Ia menatap ke luar jendela tanpa berniat berganti posisi.

“Nat?” Tubuhnya tersentak kecil, seperti baru tersadar dari lamunan panjang.

Oh sorry, udah mau sampai ya?” Tanya sosok bernama Natta itu.

“Hampir, gak mau tidur aja?” Natta menggeleng,

“Gak ngantuk, nanti aja tidurnya.”

Okay,”


TIGA TAHUN YANG LALU

“Liat deh Mile, desain kafe buatanku kalau kita jadi buat kafe sendiri.” Mile mengalihkan fokusnya dari laptop ke layar tab milik Natta.

Ada gambaran kasar dari bangunan dua lantai dengan perpaduan warna oranye muda dan coklat gelap.

“Kok ini masih kosong?” Tunjuk Mile ke arah papan nama kosong di depan bangunan tersebut.

“Hm, belum tau mau namain kafe kita apaan, bagusnya apa ya Mile?” Tanya Natta balik lalu menyandarkan tubuhnya ke sisi kiri Mile.

“Hmmm, belum ada ide juga sih. Nanti kita pikirkan sambil jalan ya.” Apo mengangguk semangat, ia memandang tab-nya sambil tersenyum.

“Akhirnya sedikit lagi kafe impian kita terwujud.” Mile terkekeh, ia melepas kacamata yang sejak awal bertengger di hidung mancungnya.

“Padahal kamu bisa aja kalau mau bangun sendiri sejak tahun lalu Nat.” Narra menggeleng heboh,

No... No... No, this is our dream since childhood gila, aku gak mau ngerusak impian kita dari dulu buat bangun kafe bareng.” Mile mengangguk, ia sangat paham dengan apa yang Natta pikirkan.

Kafe, satu kata penuh impian bagi mereka berdua terutama untuk Natta.

Milesky Alan dan Natta Afalla, keduanya telah mengenal satu sama lain sejak duduk di bangku sekolah dasar.

Berawal dari teman masa kecil yang berbagi rumah pohon bersama sampai menjadi roommate untuk apartemen yang mereka sewa bersama sejak hampir lima tahun yang lalu, ketika mereka memulai masa perkuliahan.

Sejak kecil, mereka selalu memimpikan untuk memiliki kafe bersama, yang awalnya hanya bercanda karena mereka takjub dengan salah satu kafe yang pernah mereka lihat di salah satu film masa kecil mereka, siapa sangka sebentar lagi impian mereka akan terwujud.

“Semangat kerjanya Mile, aku dukung dan tunggu kamu terus pokoknya.” Ucap Natta lalu melirik Mile yang tersenyum.

Iya, Mile sedang berjuang untuk menyelesaikan project-nya sebelum memfokuskan ke bisnis yang akan mereka mulai tahun depan, sedangkan Natta bekerja di perusahaan keluarganya.


DUA TAHUN YANG LALU

“Menurut kamu mending kita jual makanan berat juga atau nggak?” Tanya Natta ketika keduanya tengah rebahan di ruang tengah setelah sibuk membersihkan apartemen sejak pagi.

“Kalau menurut aku gak perlu, kayaknya cukup makanan ringan aja Nat.” Balas Mile lalu meraih remote tv.

“Kalau ada yang lapar gimana deh Mile?” Kali ini fokus Natta beralih ke televisi yang menyala.

They should go to restaurant instead of cafe, no?” Natta mengangguk, rambutnya bergesekan dengam rambut Mile.

Our cafe harus punya menu otentik sih Mile.” Mile bangkit dari rebahannya lalu menunduk di depan wajah Natta.

Natta mengerjap bingung, wajah mereka hanya berjarak beberapa senti, bahkan Natta bisa merasakan ujung rambut Mile menyentuh kulit wajahnya.

Then, we need to try harder plus do more trial and error for that, Nat.” Ucap Mile tepat di depan wajah Natta lalu segera menjauhkan wajahnya.

Natta reflek ikut bangun dari rebahannya.

“Panas gak sih Mile? Aku mandi duluan ya.” Ujar Natta yang langsung berdiri dan menuju kamar mandi.

Sedangkan Mile hanya bisa mengulum senyum di tempatnya.


18 TAHUN LALU

“Allaaaaa cepat siniii.” Sosok anak kecil dengan rambut melewati telinga itu mendadak berhenti berlari.

No Alla ih! Alla kayak nama anak cewek.” Anak kecil berusia tujuh tahun itu menghentak di tempat, kesal mendengar temannya memanggil dirinya dengan panggilan Alla bukan Natta.

Sosok yang lebih tinggi beberapa senti tertawa,

“Iya-iya, maaf ya Nattala, lupa terus sih.”

“Ih Mile! Bukan Nattala tapi Natta, Natta aja jangan pakai La di belakangnyaaaa.” Rengek bocah delapan tahun itu.

“Eh, iya Natta deh Natta, jangan nangis, kan udah gede.” Balas Mile jahil.

“Siapa juga yang nangis?” Dengan cepat Natta menghapus air mata yang sudah menetes di pipinya lalu segera menyusul Mile.

“Ada apa sih manggil-manggil?” Tanya Natta setelah berdiri di samping Mile.

“Sini, aku punya kejutan.” Mile meraih tangan Natta dan menggandengnya, ia membawa Natta menuju halaman samping rumahnya.

“Kejutaaaan!” Mile menunjuk ke arah atas pohon dan Natta mengikuti arah telunjuk Mile.

“Wahhhhhhhh, lumah pohon??????” Natta mengangguk semangat.

“Lumah pohon balu?” Tanya Natta lagi.

“Nggak baru sih, sebenarnya ini dibuat ayah dari tahun lalu Nat, ini tuh markas rahasia punya aku, gak ada yang pernah naik kesana selain aku sama ayah. Tapi mama bilang aku harus ngajak teman-teman yang lain main kesini juga. Cuma aku gak mau bawa teman yang lain.”

“Telus kenapa ngajak aku kesini Mile?” Mile menyadari nada Natta yang mengecil, sepertinya ia sedih mendengar kalimat terakhir dari Mile.

“Karena Natta Afalla kan teman aku.” Natta menoleh,

“Tapi katanya kamu gak mau bawa teman kesini, ini malkas lahasia kamu.”

“Iya, tapi sekarang jadi markas rahasia kita berdua.” Mile tersenyum, deretan giginya terlihat.

“Boleh?”

“Boleh, kan aku yang ngajak kamu kesini Natta, kamu teman aku, walaupun kita baru kenal hehehe.” Natta hampir mewek lagi, entah mengapa ia merasa ingin menangis.

“Mau naik?” Tawaran Mile membuatnya bersemangat.

“Mauuuu!” Mile mengangguk, lalu melepas gandengannya.

Anak laki-laki itu segera melepas tali yang terikat di pohon, dan setelahnya beberapa anak tangga terjulur kebawah.

“Ayo naik,” Natta menyusul Mile, berdiri di depan tangga menuju rumah pohon.

Ia terlihat ragu dan takut,

“Jangan takut jatuh, naik aja duluan, aku jagain dari bawah.” Ucapan Mile membuat Natta yakin lalu meraih tali tangga dan naik secara perlahan.

“Udahhh nihhh, ayo sekalang kamu naik juga, Mile.” Mile mengangguk, terkekeh mendengar Natta yang cadel.

Dirinya segera menyusul Natta naik ke atas rumah pohon dengan cekatan.

“Gimana? Bagus gak markas kita?” Mile duduk di samping Natta yang masih memandang takjub rumah pohonnya.

“Bagussssss, bagus banget Mile, ada banyak mainan juga hihi.” Natta menunjuk kotak berisi mainan milik Mile.

“Natta boleh main juga, karena sekarang ini markas kita jadi semuanya kita main bareng.” Senyum Natta semakin merekah, bahkan pipi tembamnya semakin terlihat memerah.

Mile bisa melihat mata Natta yang melengkung lucu bak bulan sabit.

“Nanti Natta bawain juga mainan dari lumah ya.”

“Boleh, bawa aja, kalau perlu bantuan bilang aku ya Nat.” Natta mengangguk lalu meraih satu mobil-mobilan warna merah.

“Loh, kalian udah pada naik?” Reflek keduanya mengintip ke bawah, ada Mama Mile dengan nampan berisi makanan ringan dan dua kotak susu.

“Tunggu Ma,” dengan sigap Mile meraih satu tali yang terikat di dahan pohon lalu mengulurnya kebawah, diikuti keranjang hitam yang ikut turun. Ayah Mile sengaja membuat itu, untuk memudahkan anaknya membawa mainan atau jajannya ke atas tanpa perlu naik turun.

“Jajannya bagi-bagi sama Natta ya, Mile.” Mile mengangguk lalu segera menarik tali setelah mamanya meletakkan kotak susu dan bungkus makanan ringan di keranjang.

“Telimakasih Tante.” Ucap Natta riang.

“Sama-sama sayang, dimakan ya, main yang senang disana sama Mile.” Balas Mama Mile lalu meninggalkan dua anak adam yang mulai menikmati jajannya.


TUJUH TAHUN LALU

“Nat, udah ma-“ Ucapan Mile terhenti setelah ia membuka pintu apartemen dan menemukan Natta dengan sosok perempuan berambut sebahu duduk di sampingnya.

“Eh Mile, aku pikir pulang sore?” Tanya Natta, sedikit terkejut dengan kedatangan roommate-nya itu.

“Dosennya sakit, kelas kosong.” Balas Mile lalu melanjutkan langkahnya.

“Kamu udah makan siang Nat?” Natta ngangguk,

“Udah tadi sama Adel, Mile kenalin, ini Adel.”

“Del kenalin, ini Mile,” Adel tersenyum manis ke arah Mile yang dibalas anggukan kecil dari pria itu.

“Lagi ada tugas kelompok apa gimana?” Natta berdiri,

“Del, sebentar ya.” Ucapnya lalu mendorong Mile ke arah kamarnya.

“Kenapa dorong-dorong? Kamarku di sebelah.”

I know, cuma mau bilang, jangan ngomong aneh-aneh ke Adel.” Alis Mile mengernyit.

“Lagi PDKT.” Lanjut Natta lagi.

Nat, you know that you’re sucks with girls, right?” Natta menghela nafas,

I know but I need to try, mau sampai kapan jomblo?”

“Pokoknya doain aku aja, kali ini pasti berhasil.”

Alright, good luck then.” Balas Mile lalu menepuk bahu Natta dan segera menuju kamarnya sendiri.


ENAM TAHUN LALU

“Aku gak bohong Nat, I really saw her with other man,”

Terlihat dua ekspresi berbeda dari dua orang di ruangan bercat abu itu.

Can you just stop talking shit about Adel, Mile? I know kalau kamu gak suka dia dari pertama kali kita jadian and I’m trying to hold that. But now? Isn’t it too much? Aku bahkan antar dia ke rumahnya dan kamu bilang lihat dia di mall? Are you kidding me?”

Know your boundaries Mile, don’t cross the line or I will hate you.” Ucap Natta lalu segera masuk ke kamarnya, meninggalkan Mile yang termenung sendirian.

Am I cross the line?” Gumamnya sendu.


Semenjak pertengkaran mereka, baik Mile ataupun Natta tidak pernah bertegur sapa lagi. Mile memilih untuk tidak tinggal di apartemen sementara waktu. Dirinya hanya mengambil beberapa barang dan menumpang di kontrakan temannya. Sedangkan Natta bahkan tidak perlu repot-repot menegur Mile jika keduanya bertemu secara tidak sengaja di kampus.

Tentu saja situasi perang dingin mereka mengusik beberapa orang termasuk teman-teman dekat mereka.

“Lo lagi berantem sama Natta?” Tanya Johan tanpa basa-basi di hari ketiga Mile menginap di kontrakannya.

Mile menginap di kontrakannya bukan lah hal yang baru, tetapi pria itu tidak pernah menginap lebih dari dua hari, itu pun biasanya terpaksa semisal tugas mereka terlalu banyak. Mile biasanya lebih memilih pulang larut daripada menginap.

Sejujurnya Johan dan anak kontrakan yang lain tidak masalah jika Mile menginap lama, toh, mereka jadi punya teman untuk main PES, hanya saja situasi Mile sedang tidak baik. Ia terlihat murung dan lebih pendiam dari biasanya. Awalnya Johan mengira Mile terlalu lelah dengan banyaknya laporan praktikum namun setelah melihat Mile tidak menyapa Natta dan sebaliknya ketika di kampus, ia seolah menemukan jawabannya sendiri.

“Mile,” Johan menyikut temannya.

“Hah?”

“Berantem sama Natta?” Tanyanya lagi.

Mile mengedikkan bahu.

“Lah, maksudnya?”

“Gue juga gak tau ini tuh berantem atau apa, intinya Natta marah sama gue dan gue ngerasa gak nyaman aja kalo harus tinggal di apartemen selama Natta marah.”

Alis Johan terangkat satu,

“Marah? Emang lo abis ngelakuin apaan sampai Natta marah? Gue bahkan gak tau dia bisa marah.”

Pertanyaan Johan sukses mengusik Mile, setelahnya ia menceritakan penyebab perang dingin antara dirinya dan teman masa kecilnya itu.

“Setelah gue tau akar masalahnya, pertanyaan gue cuma satu sih Mile,”

“Apa?”

“Mile, lo suka sama Natta?”


Natta menatap ponselnya gelisah, sudah lebih dari seminggu perang dinginnya dengan Mile, tepatnya hampir sembilan hari.

Should I?” Natta meraih ponselnya, ibu jarinya bergerak ragu-ragu diatas layar ponsel.

Nyaris saya ia menekan angka satu di ponselnya, sampai ia mendengar suara dari pin pintu apartemen yang diakses.

Kedua iris mereka bertemu, baik Mile dan Natta terdiam beberapa sekon sebelum Mile memutus tatapannya dan menutup pintu. Ia bersikap seolah tidak ada siapapun disana, dan melewati Natta yang duduk di sofa begitu saja.

Belum sempat tangannya meraih knop pintu kamar, Mile merasakan sebuah tarikan di ujung kemejanya yang tentu saja Natta lah pelakunya.

Ia melirik Natta yang menatap dirinya sendu,

We need to talk, Mile,” ucap Natta dengan suara kecil.

Mile terlihat enggan merespon.

Pleaseee?” Binar mata itu, binar yang selalu berhasil membuat Mile mengalah, sama seperti saat ini, lagi-lagi ia mengalah. Pria itu menghela nafas pelan lalu mengangguk, segera mengubah langkah menuju sofa yang Natta duduki.

“Mau ngomong apa?” Mile bertanya dengan datar namun sejujurnya perasaan Mile campur aduk saat ini. Maniknya bisa melihat tangan Natta yang saling meremas satu sama lain.

“Aku minta maaf Mile.” Akhirnya kalimat itu keluar juga dari belah bibir Natta.

Mile menoleh,

“Kenapa minta maaf? Disini aku yang salah. You’re right, I crossed the line dan terlalu ikut campur urusan kamu.” Natta menggeleng cepat, remasan pada tangannya semakin kuat.

“Aku juga salah, and no, you’re not cross the line. Aku tau maksud kamu baik, aku minta maaf.”

“Aku cuma takut kehilangan Adel, as you know, kalau aku sucks with girls, jadi aku ngerasa I need to protect her no matter what setelah jadian. But now I realize kalau aku lebih takut kehilangan kamu Mile.”

“Kita gak pernah diam-diaman gini selama hampir tiga minggu, biasanya paling lama tiga hari, dan aku mulai panik waktu kamu jarang pulang kesini.”

It’s so childish of me, I pushed you before, aku takut kamu gak balik lagi.” Jelas Natta panjang lebar dengan nada bergetar.

Tangan kiri Mile terulur, menggenggam kedua tangan Natta yang bergerak gelisah.

I’m still here Nat, don’t worry. Maaf bikin kamu takut kayak gini karena aku pikir we need space for each other.”

Mile menunduk tepat di depan wajah Natta.

“Sekalang maafin Mile ya Alla? Hm?” Ucap Mile dengan nada Natta kecil sambil menatap mata Natta yang mulai basah.

Stop it.” Natta memukul pelan bahu Mile lalu menjatuhkan tubuhnya di pelukan Mile.

Mereka melepas rasa marah dan sedih yang ditahan hampir tiga minggu lamanya di dalam pelukan erat. Natta lega, Mile tidak akan meninggalkan dirinya begitu pula Mile yang akhirnya berbaikan dengan teman masa kecilnya.


Mile meletakkan air mineral dan semangkok keripik kentang di atas meja, lalu menyusul Natta yang telah duduk di sofa memangku ice cream.

“Jangan dihabisin Nat, nanti batuk-batuk lagi.” Natta tidak membalas, hanya menatap kosong layar televisi. Hari ini bukanlah jadwal menoton mereka namun sudah empat hari ini Mile rutin menemani Natta menonton apapun yang pria itu mau.

Natta menoleh di pertengahan film setelah mendengar suara isakan kecil di samping kanannya. Ia menghela nafas setelah melihat wajah Natta yang basah karena air mata, ia lalu meraih sendok dan ice cream dari tangan Natta, setelahnya menarik dua lembar tisu untuk menyeka air mata temannya itu.

“Perasaan ini bukan film sedih tapi kamu nangis terus.” Ucap Mile lalu menatap wajah Natta dengan hidung memerah.

You need to stop crying Nat, air mata kamu bisa kering karena nangis empat harian ini.” Mile berdiri untuk mengambil dua buah sendok yang sudah ia dinginkan di dalam freezer.

“Kompres dulu matanya, terlalu bengkak.” Natta menerima dua buah sendok dingin dari tangan Mile dan langsung menempelkan ke kedua matanya.

“Jadi mau sampai kapan nangisin Adel?” Tanya Mile lalu menekan tombol pause di remote televisi.

I’m not crying over her, Mile. It’s not worth it nangisin cheater. Awal-awal iya, aku nangisin dia, tapi sekarang udah nggak.”

Okay, terus nangis kenapa?”

“Aku selalu sedih kalau ingat marah-marah ke kamu karena lebih memilih untuk belain Adel dan ternyata kamu benar, kalau dia cheater. Kayak nyesel aja, kita hampir gak berteman lagi.” Balas Natta dengan suara pelan.

Mile menatap Natta yang masih mengompres matanya.

“Nat..”

“Hm?”

“Dengarkan aku dulu,” Mile menurunkan tangan Natta dari matanya.

I’ve told you before kalau masalah kita udah clear, case closed. Apa yang kamu lakukan saat itu sangat amat wajar sebagai bentuk defend buat pasangan kamu, okay? Karena aku bakal melakukan hal yang sama kalau ada yang jelek-jelekin kamu.”

“Beda Mile, aku sama Adel pacaran waktu itu, sedangkan kita teman.”

Mile mengerjap,

“Poinnya adalah sangat wajar belain orang-orang yang menurut kamu penting, termasuk Adel saat itu walaupun akhirnya dia ternyata tukang selingkuh.”

“Jadi udahan nangisnya ya Natta Afalla, gak perlu merasa sedih buat masalah kita karena aku masih disini, gak kemana-kemana.” Keduanya saling bertatapan satu sama lain,

Natta akhirnya mengangguk, asalkan ada Mile, ia tidak peduli yang lain.

Mile merentangkan tangannya yang langsung disambut Natta.

“Terimakasih Mile, I don’t know what I’ll do if I lose you.” Bisik Natta pelan.


SATU TAHUN YANG LALU

“Mile, kalau nama kafenya For You, disingkat FrY, dan dibacanya ef-ar-yu gimana?”

“Tiga kata doang?” Natta mengangguk semangat.

“Bagus sih cuma pasti banyak yang bakal baca itu as ef-er-ye daripada ef-ar-yu.” Mile tergelak membayangkannya.

“Ah kamu bikin gak estetik aja.” Natta mencebik kesal.

“Gak semua orang punya lidah inggris kayak kamu, Alla sayang.” Ucap Mile lalu menoel dagu Natta sebelum meninggalkan pria itu karena pesanan makanan mereka hampir sampai.

“IHHH COLEK COLEK!” Natta bisa melihat bahu Mile yang bergerak pertanda pria itu tertawa.


LIMA BULAN LALU

“Emang kurang jelas apa sih perlakuan aku ke kamu Nat? Jadi kamu pikir selama ini yang aku lakuin semua atas dasar pertemanan? How about our kiss? Teman mana yang ciuman?” Natta terkejut dengan ucapan Mile.

“Kita sepakat untuk nggak bahas masalah ciuman itu Mile, saat itu kita dibawah pengaruh alkohol.”

“Alkohol? I kissed you with your consent, I know your alcohol limit and that time you were not even tipsy alias kamu itu totally sober Nat. Dan sekarang kamu bilang dibawah pengaruh alkohol? For real?”

“Mile! Stop talking nonsense!” Suara Natta meninggi,

You’re the one who need to stop denial Natta Affala and yes, I like you, I like you so damn much sampai dadaku sesak tiap lihat kamu selalu usaha cari pacar tanpa ngelirik aku sedikit pun. It’s been years and it’s getting too tired for me.”

I can’t handle my feeling anymore, udah cukup buat aku pura-pura bertahan selama ini, perasaanku perlu istirahat.”

Mile menarik nafasnya,

“Maaf kalau selama ini kamu menganggap semua yang aku lakukan atas dasar pertemanan, that’s true but not all of it. Maaf kalau aku gagal menjadi teman yang baik, karena aku diam-diam selalu berharap kamu bisa lihat aku bukan cuma sebaga Mile si teman kecil. Maaf juga karena aku udah cium kamu waktu itu, it was my fault.”

Natta mencoba mencerna seluruh kalimat yang keluar dari belah bibir Mile, tiba-tiba saja bibirnya kelu. Seluruh amarah yang ia punya lenyap seketika, tergantikan dengan rasa nyeri di dadanya.

Mile membuang mukanya, berusaha mengatur tempo nafas dan emosinya yang meledak-ledak. Pria itu bahkan hampir menangis. Tidak pernah sedikitpun terbersit di benaknya ia akan mengutarakan perasaannya dalam situasi seperti ini.

Natta masih terdiam, menatap kosong lantai.

Let’s take a break, Nat.” Natta reflek mendongak, sebuah kalimat yang sangat ia benci.

I don’t think we can use that words, we’re not even dating but we need a break, a space between us.” Lanjut Mile lalu menghela nafas.

“Aku, kamu, kita, butuh waktu untuk saling memahami satu sama lain lebih baik.”

Natta mengerjap, matanya mulai basah.

“Dan untuk kafe yang lagi proses pembangunan,”

Oh tidak, Natta tidak siap untuk ini.

“Aku serahkan semuanya ke kamu, it’s yours now. Aku gak akan menarik modal dan yang lainnya, karena dari awal itu atas nama kamu, let’s say, I just help you a little bit to make your dream cafe.” Mile bisa melihat air mata di yang nyaris turun dari mata Natta.

“Maaf aku sempat bentak – bentak kamu tadi, and don’t worry buat pembangunan aku tetap bakal urus, it’s my duty after all.”

“Aku bakal keluar dari apartemen ini, sisanya aku urus nanti.” Mile menghela nafas sekali lagi sebelum membawa tubuhnya ke arah Natta dan memeluk teman kecilnya itu.

Runtuh sudah pertahanan Natta, air mata itu luruh juga. Ia tidak pernah menyangka akan menghadapi hal seperti ini.

Ia tidak bermaksud untuk membentak Mile, ia hanya marah seperti biasa, tapi kenapa berakhir seperti ini?

Sampai detik ini pun Natta tidak bisa membalas ucapan Mile, terlalu banyak hal yang harus ia cerna.

Natta tidak bisa menahan Mile, bahkan tangannya terlalu berat untuk sekedar menahan kemeja Mile. Maniknya menatap nanar tubuh pria yang perlahan menjauh dari pandangnya, pria itu menghilang di balik pintu apartemen tanpa menoleh kembali.

Natta menunduk, terisak lebih keras. Tubuhnya bergetar hebat diikuti air mata yang membasahi kedua pipinya. Ia kalah, perasaannya kalah, egonya kalah.

Mile sadar, sampai kapanpun dirinya tidak akan pernah memenangkan hati Natta dan begitu pula Natta yang sadar jika dirinya dan Mile tidak akan pernah menjadi lebih dari teman.


TIGA BULAN LALU

It’s time to go, Mile.” Mile tersadar dari lamunanya.

Yeah, it’s time to go.” Mile menatap lamat cangkir kopi yang isinya sisa setengah sebelum akhirnya berdiri dan mengambil koper yang sejak awal ia biarkan di ujung sofa.

“Lo yakin gak mau bilang ke Natta dulu Mile?” Tanya Johan memastikan untuk yang terakhir kalinya.

Mile menggeleng,

He’ll be fine,” Johan mengangguk paham.

Ia mengecek jam tangannya,

“Lo masuk sekarang aja.”

Okay, thanks Jo, udah ngantar gue kesini.”

“Kayak sama siapa aja lo.” Keduanya bertukar pelukan singkat.

“Hati-hati lo disana, kabarin gue kalau udah landing.” Mile ngangguk,

“Tolong pantau pembangunan kafenya Natta ya Jo, harusnya dua bulan lagi selesai.”

“Iyeee aman, lo tenang aja, fokus aja disana.”

“Oke, bye Jo, salam buat orang rumah.” Johan mengacungkan ibu jarinya lalu melambai ke arah Mile yang perlahan menjauh menuju pintu keberangkatan internasional.


Sosok pria di sudut kereta memperhatikan setiap pohon yang ia lewati silih berganti, irisnya terlihat kosong dan hampa. Ia menatap ke luar jendela tanpa berniat berganti posisi.

“Nat?” Tubuhnya tersentak kecil, seperti baru tersadar dari lamunan panjang.

Oh sorry, udah mau sampai ya?” Tanya sosok bernama Natta itu.

“Hampir, gak mau tidur aja?” Natta menggeleng,

“Gak ngantuk, nanti aja tidurnya.”

Okay,”

Setelah menempuh perjalanan dengan kereta selama beberapa jam, akhirnya Natta dan Bumi sampai di kota yang menjadi saksi awal mula pertemanan antara Natta dan Mile.

Keduanya bertemu Pak Amir, supir yang ditugaskan menjemput mereka.

Natta kembali memilih diam selama perjalanan yang memakan waktu sekitar dua puluh menit dari stasiun.

“Terimakasih ya Pak Amir,” ucap Natta setelah sampai di tempat tujuan.

“Sama-sama den, saya senang rasanya ketemu den Natta lagi disini.” Natta tersenyum, sebuah kalimat yang membuatnya senang hari ini.

“Natta???” Natta dan Bumi reflek menoleh setelah mendengar suara wanita memanggil Natta.

“Mama?”

“Ya ampun, apa kabar sayang, udah lama kamu gak kesini.” Sosok yang dipanggil Mama itu menyambut Natta dengan pelukan hangat.

“Maaf ya Ma, setahun belakangan Natta sibuk ngurus pembangunan kafe, Mama apa kabar?” Natta membalas pelukan hangat itu.

“Mama baik sayang, kok gak dibalas pertanyaan Mama, kamu gimana sayang? Baik?”

Wanita yang sudah berusia setengah abad itu bisa melihat wajah sendu dan lelah Natta, tanpa menunggu jawaban dari Natta ia segera menarik tangan sosok yang ia anggap anak keduanya.

“Masuk aja yuk, pasti capek kan perjalanan kesini, ayo nak...?”

“Bumi Tan,”

“Halo nak Bumi, ayo masuk-masuk.” Wanita bernama Alesha itu membawa kedua tamunya ke dalam rumah.

“Gimana perjalanannya tadi? Lancar aja kan?” Tanya Alesha lalu meletakkan satu gelas teh hangat dan teh madu hangat untuk Natta.

“Lancar Tan, cuma tadi Natta gak tidur sepanjang perjalanan.” Lapor Bumi yang langsung dilirik temannya itu.

“Kenapa gak tidur sayang? Nanti tidur ya di kamar Mile, sudah mama rapikan kok.” Ekspresi Natta berubah setelah mendengar nama dari sosok yang tidak pernah ia temui lagi hampir lima bulan lamanya.

Kedua orang di samping Natta menangkap ekspresi sendu itu.

“Nak Bumi mau istirahat duluan? Kamar Mile di lantai dua pintu kedua di kanan, Mbak Efa ini tolong diantar nak Bumi ke atas.” Bumi mengangguk,

“Boleh Tan, kalau gitu Bumi naik dulu.” Balas Bumi lalu mengikuti Mbak Efa untuk naik ke lantai dua meninggalkan kedua sosok yang sepertinya akan berbagi cerita.

“Natta mau ke halaman samping sama Mama?”


Natta mendongak ke arah rumah pohon yang masih terbangun kuat disana.

“Sini Nat,” Alesha menepuk kursi di sampingnya, keduanya duduk menghadap kolam ikan koi.

“Waktu Natta menelfon Mama dan bilang mau kesini, Mama senang bukan main, akhirnya Mama ketemu Natta lagi karena terakhir ketemu tahun lalu kan ya?” Natta mengangguk, irisnya memperhatikan ikan-ikan koi yang berenang tenang.

“Natta tau kan kalau gak ada Mbak Efa disini, Mama cuma sama Papa dan kalau Papa kerja, Mama kesepian. Apalagi setelah keluarga kalian pindah lima tahun lalu, Mama semakin kesepian karena teman menggosip Mama udah gak ada.” Keduanya terkekeh, Natta tau yang Mamanya maksud adalah Bundanya.

“Bunda kamu itu ya, selalu aja punya bahan buat cerita, Mama jadi merasa senang setelah kalian pindah kesini. Karena Mama kan pendiam, gak punya banyak teman tapi tiba-tiba Mama dipertemukan sosok yang ramai sekali seperti Bundamu.” Natta jadi teringat sosok Bundanya.

“Mile itu wajahnya aja yang ngikut Papanya, tapi sifat dia ngikut Mama, sampai ke sifat pendiam dan gak punya banyak teman persis kayak Mama. Padahal Mama berkali-kali bilang ke Mile buat ngajak teman-temannya main kesini tapi selalu nolak, makanya waktu Mile bawa kamu, Mama kaget sekali Nat.” Natta mendengarkan dengan serius.

“Seperti yang kamu tau, rumah pohon itu dibangun Papanya biar Mile jadi lebih punya banyak teman, ternyata dia malah jadi asik main sendiri, untungnya setahun kemudian keluarga kamu pindah kesini.”

“Setelah kamu disini, Mile jadi lebih aktif, Mama bisa bilang kepribadiannya berubah perlahan, Mama sangat bersyukur akhirnya Mile mau membuka diri.”

“Jadi Nat, Mama sangat-sangat berterimakasih dengan keluarga kamu terutama kamu, sayang.” Natta menggeleng pelan,

“Tapi Mile yang banyak nemenin Natta, Ma, apalagi dulu Natta anak cengeng.” Alesha terkekeh, teringat banyak kejadian di masa lalu.

“Kalian itu kayak ditakdirkan bersama, bahkan Mama sering ngobrol sama Bunda kamu, dan dia setuju.” Natta menoleh, ada ekspresi terkejut di wajahnya.

“Kenapa? Natta baru sadar?” Alesha tersenyum.

“Mile juga baru sadar kok sayang, Mama bilang hal yang sama lima bulan lalu, waktu Mile pulang.”

“Mile pulang?” Alesha mengangguk.

“Mama kaget banget karena tiba-tiba dia udah berdiri di depan pagar, anak itu bahkan gak kasih kabar dulu.”

“Waktu itu Mama bertanya-tanya, tapi Mama tahan semua pertanyaan Mama setelah melihat wajah Mile, anak itu kayak apa ya bahasanya, zombie?” Alesha nampak mengingat-ingat.

Natta tau, saat itu lah keduanya bertengkar hebat untuk pertama kalinya dan ternyata Mile memilih pulang ke rumahnya saat itu juga.

“Mile ada ngomong sesuatu, Ma?” Alesha menoleh, iris-nya menangkap tangan Natta yang saling meremas.

Tangannya terulur untuk menggenggam tangan Natta.

“Sayang, lihat Mama dulu.” Natta mengangkat wajahnya, Alesha bisa melihat sosok yang telah ia anggap anak sedang menahan tangisnya.

“Kamu boleh banget nangis di depan Mama ya sayang, no need to hold it, Mama paham.” Detik itu juga tangis Natta pecah, pria itu telah menahan segalanya selama beberapa bulan belakangan dan berakhir disini, di rumah Mile, di depan Mamanya.

Alesha memeluk Natta, mengelus pelan punggung anak itu. Hal yang sama yang ia lakukan untuk Mile, ketika anaknya menangis lima bulan yang lalu.

“Nat salah Ma, Natta yang salah, maaf Ma, maafin Natta.” Ucap Natta terisak, ia bingung harus mengatakan apalagi selain salah dan maaf.

“Sayang, gak ada yang salah disini, perasaan kalian valid, gak ada yang salah ya sayang.” Isak tangis Natta semakin kencang.

“Wajar kalau kalian sekarang begini, tandanya semesta mau kalian istirahat dulu, istirahat dari segala perasaan yang sudah dipendam sekian lama, istirahat dari hubungan yang mungkin jika dilanjutkan hanya akan saling menyakitkan, istirahat dari masalah-masalah yang menguji kalian.” Alesha masih mengelus punggung Natta.

“Jadi sayang, biarin Mile dulu ya, biarin anak mama itu untuk memperbaiki dirinya, biarin Mile menyembuhkan sakitnya, karena Mama yakin, Mile juga berharap yang sama buat kamu sayang.”

“Ma- maafin Nat, Ma.” Alesha menggeleng,

“Gak ada yang perlu minta maaf ya sayang, ini waktu yang baik juga buat Natta untuk menyembuhkan luka Natta sendiri, tanpa Mile. Mama percaya, kalau semesta masih ingin kalian bersama, pasti ada jalannya, tapi mungkin bukan sekarang waktunya, sayang.”

“Tapi Nat gak bisa kehilangan Mile, Ma. Natta takut.”

“Mama sama Bunda kamu percaya kalian itu seperti takdir, jadi pelan-pelan ya sayang, everything will be alright.”

Alesha memeluk Natta semakin erat, sekali lagi hatinya terluka, sekali lagi ia harus melihat anaknya menangis, tapi dirinya percaya akan jalan semesta untuk kedua anaknya.


Natta memperhatikan setiap coretan dan ukiran yang ia dan Mile torehkan disana, di markas rahasia mereka, di rumah kayu yang masih berdiri kokoh.

Sesekali sudut bibirnya terangkat ketika melihat hal yang lucu, dirinya seperti menarik kembali semua momentum dari masa kecilnya. Telunjuknya bergerak perlahan di setiap coretan dan ukiran acak yang mereka buat, dan terhenti di sebuah kalimat yang baru Natta sadari.

Mile sayang banget sama Alla, semoga Alla terus jadi teman Mile selamanya.

Ia terenyuh, entah kapan Mile menuliskan kalimat itu dengan spidol merah, mungkin ketika mereka masih anak-anak. Telunjuknya kembali bergerak dan berhenti, kali ini di kalimat yang ia tulis ketika mereka duduk di bangku SMA,

Bilang aja kalau kamu emang suka sama Rachel dari kelas sebelah ya kan?!!!

Ia terkekeh, lalu telunjuknya bergerak turun ke arah tulisan Mile yang membalas coretannya,

Kenapa? Cemburu? Bilang aja kamu cemburu karena gak bisa deketin Rachel :p

Rachel? Entah apa kabarnya perempuan yang pernah menjadi bahan ribut mereka berdua,

NGAPAIN CEMBURUUU HUEK!! BANYAK CEWEK LAIN KALI!!

Sekarang dirinya sadar, entah benar saat itu dirinya cemburu karena Rachel dekat dengan Mile atau sebaliknya.

Ia menghela nafas, memperhatikan sekitar rumah pohon, terlalu banyak kenangan bahkan mereka masih sering mencoret-coret sampai saat ini.

Natta menumpukan kedua tangannya kebelakang, namun gerakan tangannya terhenti setelah secara tidak sengaja ia menyenggol kotak mainan. Ia menoleh, banyak sekali mainan yang masih dalam kondisi bagus hingga saat ini. Pria itu memundurkan tubuhnya, bersandar pada dinding rumah pohon lalu mengangkat kotak mainan, berniat mengenang kembali masa kecil mereka sampai maniknya menemukan hal lain di bawah kotak mainan.

Reflek ia mencondongkan tubuhnya, sebuah tulisan yang Natta tidak pernah lihat sebelumnya, warna masih jelas, tidak pudar seperti yang lain, ditulis dengan spidol biru. Ia membawa tubuhnya semakin dekat dan selanjutnya ia bisa merasakan matanya memanas.

Itu Mile, pria itu meninggalkan pesan untuknya tiga bulan yang lalu,

Good luck for your cafe Natta Afalla, I know you can do it. I’ll always support you from here :) Jaga kesehatan, kurangi minum kopi tengah malam, ok?

Natta mendongak, berusaha menahan air matanya.

Ia menghela nafas,

Good luck for you too stupid, I’ll waiting for you always.” Ucap Natta lalu meletakkan kembali kotak mainan disana.

Setelah obrolan panjang dengan Mama Alesha, Natta jadi tau jika Mile dipindah tugaskan ke Inggris tiga bulan lalu, dan Mile pulang lagi untuk pamit dengan keluarganya sebelum pergi ke Inggris.

Natta benar-benar tidak tau hal ini, bahkan semua teman Mile tidak memberitahunya.

Saat itu itu Natta merasa seperti pathetic loser, akan tetapi semuanya lebih jelas sekarang, dan ia mengerti.

Mungkin Mama Alesha benar, untuk saat ini biarkan mereka menyembuhkan luka masing-masing.

Jika takdir berkata iya, siapa yang bisa menolaknya?

END

©dearyoutoday

CW// unprotected sex, anal sex, dry orgasm, pissing, sex toy, kissing, handjob, etc

Apo tidak menyangka Mile langsung mendatangi tempat tinggalnya saat itu juga, tepatnya di jam tiga pagi. Pria itu dengan mudah mengakses pintu masuk Apo, karena Apo tidak mengubah sandi pintunya sama sekali setelah keduanya mengakhiri hubungan beberapa waktu yang lalu.

Apo yang sejak awal berdiri di depan pintu setelah mendengar seseorang mengakses pintu masuknya pun tidak terkejut ketika melihat sosok Mile dengan jaket kulitnya.

Keduanya saling melempar pandang sesaat, Apo pikir Mile akan mulai mengeluarkan amarahnya, namun ternyata pria itu mengambil langkah lebar ke arahnya, dan langsung memeluknya saat itu juga.

Apo tidak menolak, tidak lantas bergerak memeluk kembali, ia hanya diam berdiri di posisinya.

Yang lebih muda bisa merasakan pelukan Mile semakin erat, seperti ingin meluapkan segala rasa yang sudah lama ia pendam.

“Mile, mau sampai kapan lo meluk gue? Jujur mulai sakit.” Reflek pria itu melepas pelukannya, ia hanya terlalu rindu.

“Oh, maaf-maaf, saya— nggak, saya terlalu bersemangat.” Ucap Mile sambil menunduk, rasa bersalah itu masih bersarang di hatinya.

Mile sudah kembali ke mode sebelumnya.

“Jadi ada perlu apa kesini?” Pertanyaan Apo membuatnya kembali berpikir,

Huh? Perlu apa? Mile perlu apa?

Pria itu nampak memikirkan banyak hal, terlalu banyak yang ingin ia utarakan saat ini.

“Saya minta maaf Po.” Kalimat pertama keluar dari belah bibirnya, apapun itu, ia harus meminta maaf terlebih dulu.

“Waktu itu saya tidak bermaksud untuk mengakhiri hubungan kita, saya terlalu tertekan dengan banyak hal sampai melimpahkan segalanya ke kamu. Tidak ada pembelaan, saya akui semuanya salah saya saat itu.”

Then what? Kita juga udah putus sesuai apa yang lo mau kan?” Mile menggeleng lesu,

No, I don’t like it, saya tidak mau putus sama kamu Apo, you can do whatever you want, tapi saya mohon balik sama saya, saya bisa gila lihat kamu sama yang lain.” Suara Mile mengecil, ia masih menunduk.

Look at me Mr. Phakphum,” Mile mengangkat kepalanya, iris mereka bertemu.

Apo bisa melihat kedua iris Mile yang memerah, sepertinya pria itu hampir menangis. Ia juga menyadari jika wajah Mile terlihat lebih tirus dan lesu dari terakhir kali mereka bertemu.

Tell me once more, sambil lihat gue.”

Mile menelan ludahnya, sudah lama sekali ia tidak melihat Apo sedekat ini, ia sangat ingin menyentuh wajah cantik pria di hadapannya ini..

“Saya minta maaf Po, saya sangat sadar seluruh perkataan saya saat itu menyakiti kamu, dan saya sangat menyesal. Saya tidak mau putus sama kamu, saya bisa gila.”

“Mile,”

“Ya?”

You know that you’re bastard right? I still remember everything until now, you know it right?” Perkataan Apo mencubit hatinya,

Apakah ini akhirnya? Sampai kapanpun mereka tidak akan kembali bersama lagi?

I know, I am a stupid bastard, I hurt you until now, I jus— ” Ucapannya terputus setelah Apo dengan tiba-tiba menciumnya,

iya Apo menciumnya.

Tubuhnya hampir limbung ke belakang ketika yang lebih muda menabrakkan tubuh mereka, untungnya Mile dengan sigap menahan tubuhnya dan pinggang Apo.

Ia bisa sangat jelas merasakan kelembutan bibir Apo di atas bibirnya lagi.

Ciuman itu diawali dengan kecupan ringan yang berlanjut dengan saling menghisap lidah satu sama lain. Kedua tangan Apo sudah bertengger manis di rahang tegas Mile, begitu pula kedua tangan Mile yang masih melingkar di pinggang Apo.

Apo terus menghisap bibir Mile dengan penuh nafsu, sampai ia dengan sengaja mengigit bibir bawah Mile gemas. Tentu saja Mile meringis setelah Apo melakukannya, tapi ia sangat menerimanya.

Such a naughty boy.” Ucap Mile setelah ciuman mereka terlepas dan menghasilkan bibir basah yang bengkak.

Then please take this naughty boy to the bedroom sir.” Bisik Apo lalu menjilat sedikit darah di bibir Mile.

No mercy tonight.” Balas Mile sambil meremas pantat Apo lalu mengangkat tubuh yang lebih muda dengan mudah, membuat Apo reflek melingkarkan kakinya di pinggang Mile.

Yeah, no mercy.” Satu kecupan terakhir dari Apo sebelum Mile membawanya ke kamar.


Mile membanting tubuh Apo ke atas tempat tidur, setelahnya ia segera membuka jaket kulit dan kaos yang ia kenakan. Sedangkan Apo membiarkan Mile menelanjangi dirinya.

Setelah menelanjangi bagian atas tubuhnya, Mile segera naik ke atas tubuh Apo, ia bisa melihat wajah sang submisif yang mulai sayu.

Can I?” Satu anggukan yang langsung memancing Mile untuk menarik turun celana piyama diikuti dengan melepas kaos biru Apo.

Damn! really naughty boy here.” Apo terkekeh, ia sengaja menyiapkan hadiah kecil untuk Mile

So, kamu sengaja mancing saya kesini? Hm?” Tanya Mile tepat di depan wajah yang lebih muda, sedangkan tangan kanannya bergerak turun ke arah lubang senggama Apo yang sudah dihiasi butt plug bewarna merah muda, warna yang sangat kontras dengan kulit eksostisnya, dan tangan kirinya menggenggam penis Apo yang sudah terikat pita cantik dengan warna senada.

Unghh— hmm.” Apo mengangguk, dirinya memang sengaja memancing Mile datang, jika tidak, hubungan mereka tidak akan pernah membaik.

How pretty you are, Apo.” Ucap Mile sambil mengurut batang kejantanan submisifnya.

“Hnghh— uh Mile.” Apo mendongak, sensasi itu kembali lagi.

And this little thing here, sangat cantik sekali.” Lanjutnya lalu menekan butt plug Apo.

UGHHH—!” Apo terlonjak kaget, dua rangsangan sekaligus.

Mile mengecup kedua mata submisifnya sebelum membawa tubuh besarnya turun ke arah selatan tubuh Apo.

How sexy is this.” Bisiknya setelah melihat butt plug Apo dari dekat. Ia bawa wajahnya semakin dekat ke arah lubang anal sang submisif lalu menjilat pelan pinggiran butt plug yang masih tenggelam disana.

“Ahhh! Hnggh.”

Jemarinya mulai menyentuh butt plug itu, dan dengan perlahan ia menariknya keluar diikuti suara rintihan pelan Apo. Tangannya terus menarik sampai ia hampir melihat ujungnya, dan dengan cepat Mile mendorong kembali butt plug tersebut ke dalam anal Apo, yang tentu saja membuat tubuh Apo tersentak kaget.

“Akhhh! Fuckhh!” Maki Apo lalu menjambak rambut Mile, sedangkan sang dominan hanya tertawa pelan.

No mercy huh?” Tanya Mile dengan suara mengejek.

Pleaseeh... Pleaseeh... Do it again.” Yang tentu saja langsung dikabulkan Mile, kali ini diikuti pijatan di penisnya.

Aksi dari kedua tangan Mile terus memancing desah Apo, ia hampir sampai.

“Mileeeh... Fuckk... Sedikit lagiiiih.” Namun pria yang lebih tua memilih untuk mencabut butt plug merah muda itu dari anal Apo.

Apo tentu merengek, pelepasannya sudah di depan mata, ia frustasi.

Behave, cantik,” Mile bangkit dari posisinya, dan berlutut di antara paha Apo. Kedua tangannya bergerak ke arah pita yang masih tersimpul rapi di batang kejantanan Apo yang sudah sangat menegang.

Dan dengan satu tarikan, simpul itu terlepas. Belum sempat Apo membuka suara, ia bisa merasakan ngilu di ujung batang kejantanannya.

“AKH! FUCKKHH MILE.” Mile kembali mengikat pita merah muda itu, kali ini sedikit lebih kencang dan posisinya tepat si ujung penisnya. Tentu saja itu membuat dirinya susah melakukan pelepasan.

Yes, I’ll fuck you, babe.” Balas si dominan lalu mengulum pentil kiri Apo diikuti gerak tangannya yang melepas seluruh kain yang tersisa di tubuhnya, keduanya total telanjang.

Manik Apo tidak bisa melepas pandangan dari batang kejantanan Mile yang berukuran diatas rata-rata, ia selalu takjub.

“Tahan ilernya sayang, you’ll get this dick in your hole now.” Ucap Mile lalu melebarkan kedua kaki Apo, dan meletakkan kaki kanan si submisif di pundaknya.

Reflek apo meremas kuat sprei dibawahnya, ia tau apa yang ia hadapi. Mile mengurut pelan penisnya sebelum ia tempelkan ujung kejantanannya di bukaan anal Apo.

I love you baby,” ucapnya lalu mendorong masuk penisnya ke dalam lubang ketat Apo dengan sekali hentak.

AKHHHH—!” Tubuh Apo terlonjak, dengan mata memutih sempurna.

Ia mencapai pelepasan, dry orgasm.

Dirinya bisa merasakan phallus Mile menerobos masuk sampai ke ujung, menghantam lubangnya telak.

Mile tidak main-main dengan kalimat no mercy nya.

Shittt—.” Mile ikut mengumpat setelah merasakan pijatan di seluruh batang kejantanannya.

Let’s having fun, sayang.” Ucapnya sebelum kembali menggerakan kejantanannya di dalam tubuh Apo.

Dan Apo hanya bisa terus mendesah.


Entah sudah berapa lama Mile menghentak tubuhnya, yang jelas dirinya sudah mendapatkan tiga kali pelepasan kering yang membuat kejantannya ngilu luar biasa, sedangkan Mile belum terlihat tanda-tanda akan mendapatkan pelepasan.

“Mileeeh... Sshh... Pleaseee... Pleaseee... I wanna cummngh.” Pria itu bisa merasakan gelombang pelepasannya lagi, kali ini lebih kuat.

“Akh... Akh... Let mee—.” Ucapannya tercekat air liurnya sendiri.

Dirinya bahkan bisa melihat batang kejantanannya yang sudah berubah warna.

Let’s cum togetherhh.” Mile semakin kuat menghentak tubuh Apo, deru nafasnya semakin memberat, ia hampir mencapai pelepasan pertamanya juga.

“Nghhh... Ughhh...” Apo menjambak rambut Mile semakin kuat, ia sudah tidak tahan lagi.

FUCKH APO, I’LL FUCK YOU EVERYDAY!” Satu umpatan keluar, pertanda Mile sudah hampir sampai.

“Akhhh... Mileee... Mileee” Apo pening, ia bahkan hampir menangis, tangannya hanya bisa terus menjambak rambut Mile.

FUCKHHHH!! AKHHHH!!” Dengan cepat Mile menarik lepas simpul pita yang mengikat penis Apo diikuti dengan letupan liquid yang sudah terkumpul sejak pelepasan pertama, sebelum ia menumpahkan cairan cintanya di dalam lubang Apo.

“AKHHHHHH!! AKHHHHH!! MILEEEEE!” Tubuhnya bergetar hebat setelah ia akhirnya mendapatkan pelepasannya, dirinya bisa merasakan getaran dari batang kejantanannya yang terus menumpahkan cairan cintanya.

Namun setelahnya ia menjadi panik, perasaan aneh itu muncul kembali di batang kejantannya.

AKHHH— SHITTTT! MILEEEEEEEE!” Tubuh Apo kembali bergetar diikuti cairan bening yang meluncur bebas dari ujung penisnya dan sukses membasahi tubuh mereka.

Damn, too sexy to handle.” Ucap Mile setelah melihat reaksi tubuh Apo yang masih bergetar setelah semua pelepasannya berakhir.

Pria itu mengais oksigen sebisanya.

“Aku gak tau kalau bakal pipishh.” Ucapnya lalu menangis, sudah seperti respon alami tubuhnya.

“Hei, kenapa nangis? Hm? Should we stop now?” Apo menggeleng cepat, ia belum ingin berhenti.

It just too good, tubuh aku reflek kayak gitu.” Mile terbahak, Apo terlihat sangat manis di matanya.

Apo masih terisak pelan,

That’s okay babe, kamu boleh pee sebanyak yang kamu mau, nanti saya yang bersihin, okay? No need to hold that, I love to see your honest body reaction.” Ucap Mile lalu mengecup kedua mata Apo.

I am sorry kalau saya kasar sama kamu, it just too good for me too.” Apo mengusap air matanya.

Ia senang Mile sangat mengerti posisinya.

“Nggak kasar, I love it, kita sepakat untuk melakukan with no mercy. So, just do like that.”

Mile mengangguk, mereka berada di halaman yang sama untuk mengerti satu sama lain.

“Boleh dilanjut? Or do you want to switch to vanilla?” Apo mengecup bibir Mile.

“Kamu sendiri yang pernah bilang untuk menyelesaikan apa yang sudah dimulai, right? So, with no mercy till the end.” Mile tersenyum, lalu mengecup bibir Apo.

I’ll do it with no mercy, so please bear with me, sayang.” Ucapnya sebelum kembali melanjutkan kegiatan panas mereka sampai pagi menjelang.

Mobil Mile berhenti tepat di salah satu penjual nasi goreng di pinggir jalan yang sudah menjadi langganan Apo, tapi menjadi hal baru bagi Mile.

Apo menoleh sambil melepas seat belt-nya,

“Saya ditinggal aja pak disini, ini juga dekat sama apartement, jadi bapak bisa langsung pulang.” Mile mengernyit,

“Kata siapa saya mau pulang? Saya mau makan sama kamu, Natta.”

“Bapak mau makan sama saya?” Ulang Apo memastikan, seolah tidak percaya dengan ucapan Mile.

“Iya.” Mile ikut melepas seat belt-nya.

“Bapak serius mau makan disini?” Tanya Apo lagi, ia khawatir Mile tidak menyukai tempat dan makanannya.

“Iya serius, atau saya tidak boleh makan disini?” Apo menggeleng cepat,

“Boleh pak kalau mau.” Dengan begitu Mile turun dari mobil dan mengekori Apo.

“Duduk disini aja ya pak, kalau dekat sana asapnya suka ngebul.” Apo mengarahkan Mile duduk di salah satu meja yang paling ujung.

“Bapak mau makan apa?” Tanya Apo ke arah Mile yang terlihat memperhatikan sekitarnya.

“Saya ikut kamu aja, Natta.” Apo mengangguk, setelahnya ia menuju penjual nasi goreng yang sudah sangat dikenalnya.

“Bang,”

“Eh a’ Apo, mau pesan kayak biasa a’?”

“Yang biasa satu aja bang, punya saya. Biasa ya, pedas banget sama banyak acar, dipisah. Nah, yang satu lagi pedas sedang, tanpa acar ya bang. Minumnya, es teh dua.” Si abang mengangguk,

“Ini yang satu pakai telur dadar juga gak a’?”

“Iya bang,” setelah pesanannya tersampaikan dengan baik ke abang penjual, Apo kembali ke arah Mile yang duduk sambil menatap ke arahnya.

“Sudah saya pesan ya pak, ditunggu sebentar.” Mile mengangguk, ia juga tidak keberatan jika menunggu lama.

“Kamu sering makan disini, Natta?”

“Lumayan sih pak, cuma gak terlalu sering.” Mile mengangguk, pengalaman baru baginya untuk makan di pinggir jalan seperti sekarang ini.

Setelah hampir lima belas menit menunggu, abang penjual datang dengan dua piring nasi goreng pesanan Apo.

“Nah, ini pesanannya a’, satu nasi goreng kayak biasa, yang satu nasi goreng tanpa acar.” Dua piring nasi goreng tersaji di hadapan keduanya.

“Pantas atuh pesan nasi goreng biasanya teh satu aja, saya kira sama aa Job kayak biasa.” Celetuk abang penjual lalu tersenyum ke arah Mile.

“Iya bang, lagi gak sama Job, es tehnya mana?”

“Es tehnya sebentar, saya ambilkan.” Tidak lama setelah itu abang penjual kembali dengan dua gelas es teh.

“Temannya teh kasep pisan a’, kelihatan paling bening sendiri disini.” Apo terkekeh sambil mengangguk, menyetujui perkataan si abang penjual.

Penampilan Mile memang terlihat mencolok diantara pembeli yang lain, bahkan banyak pasang mata yang memperhatikan mereka berdua terutama Mile, ketika turun dari mobil.

“Yaudah atuh, selamat menikmati ya aa.” Ucapnya lagi sebelum meninggalkan meja mereka.

“Terimakasih bang.” Balas Apo lalu mulai fokus dengan piring nasi gorengnya.

“Kamu kalau kesini sama Job?”

“Gak selalu sama Job sih pak, kadang sama yang lain, kadang juga sendiri kalau gak ada teman, cuma emang seringnya sama Job.” Balas Apo lalu menyuap nasi gorengnya.

Ah, akhirnya dia makan dengan nikmat.

“Oh, gitu.” Mile ikut menyuap makanannya.

“Tapi bukan berarti kita pacaran ya pak, waktu itu sudah saya jelaskan ke bapak, kalau saya sama Job itu cuma teman dekat aja. Gak pernah sama sekali kepikiran pacaran sama dia.” Mile bisa menangkap ekspresi lucu Apo yang sepertinya enggan sekali berpacaran dengan Job.

“Iya Natta, saya paham. Saya cuma nanya aja.” Apo mengangguk lalu kembali menyuap nasi gorengnya.

Keduanya menghabiskan nasi goreng diselingi obrolan ringan yang jauh dari hal pekerjaan, sepertinya mereka juga tidak ingin membahas pekerjaan saat ini.

“Bapak duluan aja ke mobil, ini saya bayar dulu.” Ucap Apo sambil berdiri dari kursinya.

“Tunggu Natta.” Mile menahan pergelangan tangan Apo.

Tangan kanannya bergerak cepat menarik keluar dompet dari saku belakang celananya.

You can pay with my money then.” Mile mencoba mengecek dompetnya, lalu mengeluarkan lembaran uang berwarna merah dari dompetnya.

How much is it?” Tanyanya ke arah Apo.

“Eh gak usah pak, saya aja yang bayar. Biasa juga gak sampai lima puluh ribu kok. Anggap aja ini saya yang traktir bapak ya.” Balas apo lalu terkekeh pelan.

Agak geli sendiri mengucapkan kata traktir di depan bosnya yang kaya raya itu.

Mile hampir menolak, namun kalah cepat dengan langkah Apo yang sudah menjauh darinya.


Keduanya sudah kembali duduk dengan nyaman di dalam mobil, kali ini dengan perut penuh. Apo pun mulai diserang rasa kantuk setelah kekenyangan.

“Natta,” Apo menoleh, bosnya itu belum juga menginjak pedal gas.

“Iya pak?”

Keduanya saling melempar pandang.

Next time, kalau kamu butuh teman makan nasi goreng disini, just let me know. Jadi, kamu nggak perlu makan sendirian.” Ucap Mile lalu tersenyum.

Tuhan, apa Apo boleh pingsan aja sekarang?

© dearyoutoday

Mobilnya berhenti dengan aman di depan rumahnya. Mile menoleh ke arah Natta yang tertidur sejak ia jemput dari rumah sakit. Dokter sangat menyarankan Natta untuk rawat inap setidaknya tiga hari, tetapi pria itu menolak karena ia harus mengejar bimbingan terakhirnya.

Suhu badannya masih cukup tinggi, sehingga dokter berpesan agar Natta mendapatkan istirahat yang cukup dan segera kembali ke rumah sakit jika keadaannya tidak kunjung membaik.

Mile bisa mendengar dengkur halus Natta, wajahnya terlihat cukup pucat. Ia seperti tidak enak hati untuk membangunkan tetangganya itu.

“Nat, bangun dulu yuk, udah sampai.” Mile menepuk pelan bahu Natta.

Natta bergeming, terlihat tidak terganggu dengan tepukan Mile.

Yang lebih tua mulai panik, takut jika kondisi Natta memburuk. Dengan cepat ia melepas sabuk pengaman dan mencondongkan tubuhnya ke arah Natta, berusaha mengecek kondisi Natta lebih dekat.

“Nat, bangun, are you okay?” Natta terlihat mengigau dalam tidurnya.

Should we go back to hospital Nat? Natta?” Mile mulai mengguncang pelan tubuh Natta.

Natta meleguh, kelopak matanya mulai bergerak terbuka.

Mile memperhatikan gerakan Natta, ia bahkan tidak sadar jika tubuhnya terlalu dekat dengan Natta saat ini.

Natta mengerjap pelan, kepalanya terasa sakit sekali, diikuti pandangannya yang memburam.

Wajah Mile adalah hal pertama yang ia lihat setelah membuka mata, ia bahkan mengira, saat ini dirinya sedang bermimpi karena posisi wajah mile yang sangat dekat dengan wajahnya.

“Mile?” Suaranya serak,

“Ya? Do you need any help?” Natta memperhatikan wajah Mile lebih teliti,

ia pasti bermimpi, yakinnya.

“Gue mimpi ya?” Mile mengernyit bingung.

“Mimpi? Maksudnya?” Kedua tangan Natta bergerak menyentuh wajah Mile.

Mile bisa merasakan suhu panas menyentuh kedua pipinya.

“Kayaknya kita perlu balik lagi ke rumah sakit,” Natta menggeleng.

“Gue gak mau ke rumah sakit, gue gak sakit.” Suara Natta melemah.

Mile membiarkan Natta yang masih menyentuh wajahnya.

“Ternyata gue bisa mimpiin lu juga ya Mile.” Mile semakin bingung dengan perkataan Natta.

Siapa yang mimpi? Natta? Apakah ini efek demam?

Mile bingung sendiri.

“Mile.”

“Hm?” Kedua iris mereka bertemu.

Can I kiss you?” Manik Mile melebar, tidak menduga pertanyaan yang terlontar dari belah bibir Natta.

Belum sempat ia menjawab, Natta menarik wajahnya semakin dekat.

Ia bisa merasakan nafas panas menerpa wajahnya, dan detik berikutnya, bibir mereka bertemu.

Natta menciumnya.

Natta menciumnya.

Natta menciumnya.

Kata-kata itu terus berputar di dalam kepalanya, dan tanpa sadar matanya ikut terpejam.

Kedua tangannya mengukung Natta, agar tubuhnya tidak menimpa yang lebih muda.

Membiarkan Natta menciumnya.

Atau mungkin,

membiarkan dirinya menerima ciuman Natta?

.dearyoutoday

Setelah menempuh tiga jam perjalanan, mobil Lexus hitam itu terlihat memasuki pekarangan dari bangunan tiga lantai bercat oranye.

Julian memarkirkan mobilnya tepat di bawah pohon kersen, sedangkan Jemiah hanya memperhatikan sekitar sejak mereka memasuki area pekarangan.

“Nanti gue yang bawa paper bag-nya, lo masuk duluan aja.” Jemiah menggeleng,

“Barengan aja, gue agak gugup. Udah lama gak kesini.” Julian mengangguk paham lalu membuka akses pintu mobil dari central lock. Keduanya melepas sabuk pengaman lalu turun secara bersamaan.

Jemiah membantu Julian mengeluarkan paper bag yang sudah Jemiah persiapkan dari jauh-jauh hari, sengaja ia titipkan lewat alamat agensinya.

Sedangkan keikutsertaan Julian yang cukup mendadak tidak membuatnya datang dengan tangan kosong, pria itu sempat singgah untuk membeli beberapa kotak pizza dan juga pasta.

“Ayo,” ajak Jemiah yang mulai memasuki area bangunan bercat oranye dengan plang “Rumah Kasih”


“KAK JEJEEEEEEEEE!” Pekik sosok anak perempuan berkuncir dua.

Pekikan tersebut sukses membuat seluruh atensi anak-anak disana teralihkan ke arah Jemiah, sontak mereka ikut menjerit senang.

“ADA KAK JUJU JUGAAAAA.” Sosok bocah laki-laki menangkap presensi Julian yang berdiri tidak jauh dari Jemiah.

Anak-anak tersebut mulai berhamburan ke arah Julian dan Jemiah, bersemangat menyambut kedua sosok yang sudah mereka anggap keluarga itu.

“Apa kaballll kak Jejeeee?” Anak perempuan berkuncir dua itu sudah memeluk kaki Jemiah senang.

“Baik sayangg, kabar Faya gimana?”

“Baikkkkk.” Anak kecil bernama Faya itu menjawab dengan malu-malu.

“Eh, Jeje sama Juju sudah sampai?” Keduanya menoleh,

“Halo Bunda.” Jemiah meletakkan paper bag berisi hadiah untuk anak-anak Rumah Kasih, sebelum memeluk perempuan yang ia panggil bunda, disusul Julian di belakangnya.

“Kalian apa kabar? Sehat semua?” Keduanya mengangguk dengan senyuman hangat.

“Sehat Bun, Bunda gimana? Sehat?” Tanya Julian balik.

“Sehat dong, semakin sehat setelah lihat kalian berdua.” Ketiganya tekekeh.

“Bunda dengar kalian habis konser ya? Gimana konsernya? Lancar?”

“Iya Bun, makanya kita baru dapat libur, dan lancar konsernya,” jawab Jemiah lalu kembali mengambil paper bag-nya.

“Kalian repot-repot sekali, kalian datang kesini aja, mereka sudah senang.” Ucap Bunda yang diangguki anak – anak disana.

“Kak Jeje cantik cekali.” Celetuk Faya lalu kembali bersembunyi di balik kaki Jeje.

“Cantik?” Tanya Jemiah memastikan.

“Iya, kemalin minggu kita lihat konsel kakak-kakak 7DREAM dari komputel baleng kak Alea, telus aku lihat kak Jeje cantik cekali disana.” Jawab Faya masih bergelayut manja di kaki Jeje.

“Betulll, aku juga lihat loh dan keren sekali 7DREAM.” Saut anak kecil berambut pendek.

“Terimakasih Chika, kakak senang kalian nonton konser 7DREAM.”

“Kak Juju juga tampan cekali, Ancel bilang kalau besal nanti akan sepelti kak Juju.” Keduanya reflek menoleh ke anak laki-laki bernama Ansel, sosok yang paling semangat setelah melihat Julian.

“Ssttt, masih rahasia tau.” Jawab Ansel lalu bersembunyi dibelakang Julian.

Jemiah berjongkok,

“Emang Ansel gak mau jadi kayak kakak aja?” Tanyanya jahil.

Ansel menggeleng cepat,

“Kak Jeje ganteng juga, tapi banyak cantiknya, kalau kak Juju ganteng semua gitu, Ansel mau ganteng semua aja, biar cantiknya ke Faya aja.” Sontak jawaban Ansel membuat tiga orang dewasa disana tertawa lucu, dan Jemiah tidak keberatan sama sekali dicap cantik oleh mereka.

“Kalau gitu kalian mau hadiah gak? Hadiah karena sudah nonton konser 7DREAM?” Tanya Jemiah sambil menunjukkan paper bag yang ia bawa sejak tadi.

“MAU MAUUUU.” Seluruh anak-anak disana membalas dengan semangat dan langsung mengikuti arah pergerakan Jemiah dan Julian.


Jemiah membiarkan semilir angin menerpa wajahnya pelan, menggerakan setiap helaian rambut. Iris kelamnya menatap lembut ke arah anak-anak yang sedang sibuk mengoper bola kaki bersama Julian.

Namun jika diperhatikan, irisnya bergerak mengikuti sosok bertubuh paling besar disana, sesekali ia tertawa ketika melihat adegan lucu yang tercipta tanpa sengaja.

“Jeje.” Jemiah reflek menoleh, sosok perempuan yang ia panggil bunda datang dengan nampan berisi tiga gelas coklat panas.

“Diminum dulu Je.”

“Bunda kenapa repot-repot, Jeje bawa minum kok di mobil.” Pria itu dengan sigap membantu sang bunda.

“Gak repot, Bunda kangen buatin coklat panas buat anak-anak Bunda yang jauh ini.” Ujarnya sambil mengelus rambut Jemiah pelan.

Elusan itu sukses menyamankan Jemiah.

“Kamu libur sampai kapan sayang?”

“Minggu ini aja Bun, dikasih istirahat karena mulai minggu depan mulai fokus ke anniversary project.” Balas Jemiah lalu menyesap pelan coklat panasnya.

“Ahh iya, tadi si Juju cerita kalau kalian sudah mau tujuh tahun ya? Gak terasa ya Je, kayaknya baru kemarin kalian kesini buat kasih berita debut kalian ke Bunda.” Kenang Bunda sambil menepuk lengan Jemiah.

Rumah Kasih, salah satu tempat singgah Jemiah sejak kecil. Sejak ia belum lahir, orang tuanya adalah donatur tetap disana, Jemiah tumbuh bersama anak-anak Rumah Kasih.

Sosok perempuan yang ia panggil bunda itulah yang menemaninya sejak kecil, setiap kali Jemiah mendatangi Rumah Kasih.

Sebelum kedua orangtuanya memutuskan pindah ke negara lain, hampir setiap bulan, Jemiah mengajak mereka mendatangi Rumah Kasih. Namun setelah keduanya pindah, intensitas mengunjungi tempat itu semakin berkurang, pun setelah Jemiah berhasil debut menjadi idol.

Sedangkan Julian mengetahui Rumah Kasih dari Jemiah. Jemiah mengajaknya kesana ketika masa trainee mereka, sejak saat itu Julian juga menjadi bagian Rumah Kasih.

Setiap mendapatkan hari libur, Jemiah selalu mengusahakan untuk datang ke Rumah Kasih, baik sendiri maupun bersama Julian, seperti sekarang ini.

Dan sekarang keduanya menjadi donatur tetap di Rumah Kasih, membantu anak-anak Rumah Kasih mendapatkan pendidikan yang lebih baik.

“Iya Bun, cepat sekali ya.” Irisnya kembali memperhatikan permainan Julian yang semakin seru.

“Bunda senang sekali kalau Jeje dan Juju bisa sama-sama terus kedepannya, Bunda gak perlu khawatir karena kalian bisa saling jaga.” Jemiah menoleh,

“Bun,”

“Ya sayang?”

Ia ragu, lidahnya seperti kelu, namun ia seperti harus menumpahkannya.

“Jeje sebenarnya dapat tawaran dari agensi lain, ada lebih dari dua agensi yang coba menghubungi Jeje.” Jemiah bisa menangkap ekspresi terkejut dari wajah cantik bundanya.

“Oh iya? Bagus dong sayang, berarti mereka tau kalau Jeje hebat.” Jemiah menghela nafas.

“Jeje bimbang ya?”

“Sedikit Bun, karena ada acting agency juga yang nawarin kontrak ke Jeje.” Bunda mengangguk, ia paham, sejak tiga tahun lalu Jemiah memang mulai terjun ke dunia akting.

“Jeje mau cerita ke Bunda sekarang atau nanti saja setelah Jeje sudah lebih yakin?” Jemiah goyah, tawaran halus bundanya seperti oasis di tengah padang pasir.

Ia perlu sosok yang bisa memberikannya sudut pandang baru,

“Sekarang Bun, sebelum Juju kesini.” Bundanya mengangguk, siap menjadi pendengar yang baik untuk Jemiah.

imgoodtoday

Natta mengernyit bingung ketika tidak menemukan Bara di rumahnya, sedangkan adeknya itu tidak mengatakan akan pergi hari ini.

Ia membawa langkahnya menuju dapur untuk mengambil segelas air, dan maniknya menangkap kertas kecil yang tertempel di pintu kulkas.

Kak, Bara di rumah depan, nanti langsung kesini yah

Semakin bingung Natta karena Bara tidak mengirim pesan seperti biasa. Pria itu segera menuju kamarnya untuk berganti baju dan menyusul Bara ke rumah tetangganya.


HAPPY BIRTHDAY KAK NATTTT!” Natta terlonjak kaget setelah membuka pintu. Bara dan kedua tetangganya berdiri di depan pintu dengan kue dan letusan confetti yang sekarang sudah memenuhi rambutnya.

“Kaliaaan.” Ketiga lelaki itu tertawa melihat Natta yang terkejut.

“Selamat ulang tahun Kak Nat, ayo tiup lilin.” Ucap Ta lalu mengarahkan kue yang ia bawa ke depan Natta.

Natta memejam sebentar untuk berdoa sebelum akhirnya membuka mata dan meniup lilin.

“Yeaaaay.” Ketiganya bersorak senang.

“Selamat ulang tahun kak.” Mose maju dan memeluk Natta lalu bergantian dengan Ta.

“Terimakasih guys, gak expect dapat kejutan disini.” Natta tersenyum.

“Waktunya makan, ayo kak sekalian potong kue.” Natta mengangguk lalu mengikuti ketiga adeknya menuju meja makan.

Natta bisa melihat beberapa jenis makanan di atas meja termasuk kue ulang tahun pemberian Bara juga ada disana.

“Ini masak sendiri loh kak.” Celetuk Ta lalu menarik kursi untuk Natta.

“Oh iya? Siapa yang masak? Mos?” Tanya Natta lalu duduk dengan nyaman.

“Iya kak, I tried my best buat ini, semoga enak ya.” Jawab Mos lalu tertawa.

“Ta juga bantu kak.”

“Bantuin apaan, bantu ngerusuh kali.” Itu Bara.

“Ye mending gue bantuin dikit-dikit daripada cuma liatin doang.” Balas Nakunta tidak mau kalah.

“Eh udah, malah ribut, kalian semua hebat, terimakasih ya.” Ucap Natta lalu mengambil pisau kue untuk memotong kue pemberian adek-adeknya.

Keempatnya hanyut dalam obrolan panjang yang menyenangkan. Natta juga terus memuji masakan Mos terutama steak yang rasanya sangat enak menurut Natta. Pria itu juga tidak menanyakan keberadaan Mile karena dirinya sudah mengetahui jika si sulung sedang berada si luar kota sejak kemarin.


Setelah menikmati makan malam, Natta dibawa ke halaman belakang dan untuk kedua kalinya ia terkejut karena halaman belakang sudah disulap menjadi lebih manis dengan lampu gantung dan beberapa hiasan lucu.

Natta duduk di kursi yang menghadap ke tiga kotak berlapis kertas kado di atas meja.

“Ini hadiah dari kita kak, ayo dibuka.” Ucap Bara yang membuat Natta terharu.

“Dari gue dulu kak.” Mos menunjuk kotak dengan kertas kado bewarna biru tua. Natta meraih kotak berukuran sedang itu lalu membukanya.

Natta menoleh ke arah Mos dengan ekspresi kaget setelah melihat isi kotak yang ia buka, sebuah digicam.

“Waktu itu lu nanya kan kak, gue pake kamera apaan karena lu suka hasilnya, jadi gue kadoin kamera yang sama.” Natta mengangkat kamera dari kotaknya, dan menemukan gantungan namanya yang tergantung manis di kamera pemberian Mos.

“Terimakasih Mos, gue terharu nih.” Mos terkekeh.

“Sama-sama kak, ditunggu hasil kameranya.” Natta mengacungkan ibu jari.

“Ayo buka kotak selanjutnya kak, dari Ta.” Nakunta mendorong kotaknya mendekat ke arah Natta.

Natt membuka kotak bewarna abu, dan lagi, ekspresi terkenjut terpancar jelas di wajahnya.

How pretty Ta, my God.” Natta mengeluarkan isi dari kotaknya, sebuah music box bergaya vintage, sangat dirinya sekali.

Kotak musik berbentuk Merry-Go-Round dengan beberapa kuda cantik.

“Waktu Ta lihat itu, langsung keinget kak Nat, jadi Ta langsung beli.” Natta mengelus kotak musiknya.

Thank you so much Ta.” Nakunta mengangguk sambil tersenyum senang.

“Dan kotak terakhir dari Bara.” Bara mencoba memindahkan kotak yang terlihat berat di mata Natta. Jujur saja, kotak milik Bara adalah kotak paling besar diantara ketiganya, dan ternyata menjadi kotak paling berat pula ketika Natta mencoba mengangkatnya.

“Dek kamu ngasih apaan? Kok berat?” Tanya Natta bingung.

“Buka aja kak.” Natta segera membuka kertas kado bewarna coklat yang membungkus kotak kado Bara.

Gerakan tanganny reflek terhenti setelah ia bisa melihat sedikit isi dari kotak tersebut.

“Bar?? Don’t say.” Tangannya kembali bergerak lebih cepat.

Bara antusias,

Oh God! Bara? Adek, are you serious?” Natta menatap Bara yang tersenyum. Dan entah kenapa tiba-tiba saja Natta merasakan panas di matanya, ia terharu sampai menangis setelah melihat hadiah dari Bara.

“Eh kak, kenapa nangis?” Bara terkejut lalu memeluk kakaknya.

“Terharu.” Natta selalu terharu untuk apapun yang Bara berikan untuknya, namun kali ini ia merasa sangat terharu.

Bara memberikannya turntable vintage yang sebenarnya sudah Natta rencanakan untuk membeli turntable itu sebagai hadiah kelulusan untuknya nanti. Tapi siapa sangka Bara lah yang membelikannya sebagai hadiah ulang tahun.

Natta memang memasukkan turntable itu kedalam wishlist-nya. Sebelumnya, ia pernah memiliki turntable pemberian ayahnya, namun tiga tahun lalu turntable itu rusak dan tidak bisa diperbaiki kembali. Cukup sulit bagi Natta untuk menemukan turntable yang ia sukai sampai beberapa bulan lalu, secara tidak sengaja ia menemukannya di salah satu toko barang-barang vintage.

Saat itu hampir saja Natta langsung membeli turntable yang menarik perhatiannya namun ia urungkan, bukan karena harganya yang lumayan, hanya saja Natta merasa ia ingin membeli barang tersebut sebagai suatu perayaan dan memutuskan akan membelinya di hari kelulusan, bahkan dirinya sudah meminta pemilik toko untuk menyimpannya terlebih dulu.

Bara mengetahui rencana kakaknya setelah Natta menceritakan hal tersebut, setelahnya Bara memutuskan untuk menjadikan turntable itu sebagai hadiah ulang tahun kakaknya.

“Jadi Ta beli music box di tempat yang sama?” Tanya Natta setelah keempatnya kembali membuka obrolan.

“Iya, waktu nemenin bocil kak.”

“Bocal, bocil, bocal, bocil.” Bara melirik Ta sinis.

“Hush, berantem mulu nih dua bocil.” Celetuk Mos lalu terkekeh setelah melihat Nakunta dan Bara kesal.

“Terimakasih semuanya, bingung mau ngomong apalagi.” Ketiga orang dihadapan Natta tersenyum, senang karena kejutan mereka berhasil.

Belum selesai haru yang melanda Natta, tiba-tiba saja keempat orang disana mendengar suara mobil yang sangat familiar.

“Bang Mile pulang!” Seru Bara antusias, akhirnya mereka merayakan ulang tahun kakaknya dengan lengkap.

Mereka bisa mendengar suara pintu mobil yang ditutup dan diikuti suara langkah kaki yang menuju halaman belakang.

Posisi Natta yang membelakangi Mile tidak mengetahui jika pria itu datang dengan kejutan lainnya.

Happy birthday tetangga,” Natta menoleh, sedetik kemudian ia tersenyum setelah melihat Mile yang datang dengan berbagai jenis kue di atas piring.

“Ayo tiup lilin lagi kak.” Ujar Ta yang diangguki lainnya. Natta mengikuti keinginan mereka, kembali berdoa lalu meniup lilin-lilin itu.

Ia tetawa setelah menyadari bentuk kue yang berbeda-beda.

“Bawa piring darimana Mile?” Tanyanya lalu tertawa.

“Dari kantor, tolong anggap ini bukan piring karena toko kue mana yang buka jam segini jadi mampir kantor dulu buat ambil ini semua.” Jawab Mile ikut tertawa disusul tawa yang lain.

“Terimakasih effortnya ya bang Mile.” Ucap Natta tulus, sorot matanya menggambarkan segalanya.

“Eh merinding banget kak Nat manggil pakai abang.” Keduanya jadi salah tingkah sendiri.

Bagi Natta, ini akan menjadi salah satu ulang tahun yang membahagiakan.